Jakarta, CNN Indonesia -- Jumat, 31 Maret lalu menjadi hari bersejarah bagi reformasi perpajakan Indonesia. Tax Amnesty, program kebanggaan pemerintah sebagai penghapus kegelapan perpajakan telah berakhir.
Setelah sembilan bulan mengarungi sistem perpajakan Indonesia, program ini berhasil menarik antusiasme masyarakat. Total 956.793 wajib pajak menjadi pesertanya. Sebuah angka yang fantastis. Bahkan, Kantor Direktorat Jenderal Pajak masih melayani antrean calon peserta Tax Amnesty hingga pukul 23:40 WIB. Bak jamur di musim penghujan, mereka terus bermunculan di detik-detik terakhir penutupan. Tidak ketinggalan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun ikut nimbrung, menyemangati masyarakat beserta jajaran pegawainya.
Kegelapan Perpajakan Indonesia
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lima tahun belakangan, pemerintah memang dibuat pusing dengan penerimaan pajak yang selalu meleset dari target. Seperti di tahun 2015, penerimaan pajak hanya Rp1.235 triliun dari target Rp1.489 triliun. Bahkan, tahun itu menjadi penerimaan terburuk sejak tahun 1990.
Siapa yang salah? Dalam hal ini, tentu bukan saatnya saling menyalahkan. Yang diperlukan adalah solusi agar masalah itu dapat teratasi. Akhirnya, demi meningkatkan penerimaan, pemerintah pun mereformasi sistem perpajakan dengan meluncurkan Tax Amnesty.
Apa itu Tax Amnesty?
Menurut UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perpajakan, Tax Amnesty merupakan program pengampunan pajak terutang oleh negara. Artinya, masyarakat yang belum melaporkan harta dan pajak terutangnya tidak akan dikenai sanksi administrasi ataupun pidana, asalkan mau melapor dan membayar sejumlah uang tebusan kepada negara. Batas pelaporannya hanya sembilan bulan sejak Juli 2016 hingga Maret 2017. Di luar itu, negara segera memerintahkan kaki-tangannya untuk mencari para pengemplang pajak. Singkatnya, proses pengampunan telah berakhir. Maka dari itu, ia diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk insaf dan melaporkan dosa pajaknya selama ini.
Keberhasilan Tax Amnesty
Alhasil, program ini pun berhasil menunjukkan kehebatannya. Total Rp4.855 triliun, harta yang dilaporkan kepada negara. Rinciannya, Rp3.676 triliun dari dalam negeri; dan Rp1.179 triliun dari luar negeri. Hasil yang sangat spektakuler.
Belum lagi, total dana yang berhasil diterima negara yakni Rp135 triliun, dengan rincian: (1) pembayaran tebusan Rp114 triliun; (2) pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun; dan (3) pembayaran tunggakan Rp18,6 triliun. Kas negara pun bertambah, siap menyongsong pembangunan di masa mendatang.
Mengapa Perlu Mengapresiasi Tax Amnesty?
Ada empat alasan, mengapa kita perlu mengapresiasi program ini. Pertama, program Tax Amnesty Indonesia adalah yang tersukses di dunia.
Sepanjang sejarah, Indonesia sudah tiga kali menerapkan program serupa yakni tahun 1964; 1984; dan 2004. Meskipun ketiganya gagal menarik antusiasme masyarakat, namun lain cerita dengan Tax Amnesty 2016. Dibandingkan Italia, Chili, dan Afrika Selatan, Indonesia adalah juaranya.
Indonesia berhasil mengumpulkan pelaporan harta sebanyak Rp 4.855 triliun, sedangkan Italia Rp1.179 triliun, Chili Rp263 triliun, dan Afrika Selatan lebih menyedihkan, hanya Rp115 triliun. Sudah sepatutnya kita berbangga, mengapresiasi program anak bangsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kedua, pemerintah telah menjadi ksatria penyelamat pajak negara. Disadari atau tidak, mungkin merekalah pihak yang seringkali kita kritik selama ini.
Apalagi, di saat harga BBM naik hingga tidak terjangkau masyarakat. Tidak terbayangkan, berapa banyak hujatan dan cacian yang kita lontarkan. Cukup sudah, dalam hal ini kita harus objektif. Kesampingkan ego yang dapat menutupi mata hati. Akui bahwa program ini sukses menyelamatkan pajak dari para pengemplang.
Keberhasilannya dapat meningkatkan kas negara. Jika kas meningkat, program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pun akan berjalan lancar. Di pusat maupun daerah, tidak ada lagi ketimpangan pembangunan. Semua akan kebagian jatah dana urunan ini. Tidak ada lagi sekolah rusak, jalanan berlubang, dan jembatan ambruk tidak terurus. Sudah sepatutnya kita berbangga, mengapresiasi program anak bangsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Ketiga, pajak merupakan penerimaan terpenting negara. Hampir 90 persen dana APBN berasal dari pajak. Ia bagai urat nadi dalam tubuh manusia. Membantu jantung memasok darah ke setiap bagian tubuh, memastikan semuanya mendapat nutrisi yang sama. Tanpanya, manusia tidak akan berkembang, bahkan mati.
Pajak pun demikian. Membantu pemerintah mengalirkan dana masyarakat ke berbagai sektor pembangunan, memastikan semuanya mendapat perhatian yang sama. Tanpanya, negara tidak akan maju, bahkan hancur. Melalui Tax Amnesty-lah, penarikan pajak terpotensikan maksimal untuk pembangunan negara. Sudah sepatutnya kita berbangga, mengapresiasi program anak bangsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Di puncak apresiasi, program ini dapat meningkatkan empati antar golongan di Indonesia. Tingkat kesenjangan sosial di Indonesia tahun 2016 sebesar 0,41 persen, cukup jauh dari sempurna (0%). Artinya, jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin masih curam.
Melalui Tax Amnesty inilah, diharapkan sikap empati tumbuh, yakni sikap memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan (Zoll dan Enz 2012). Bagaimana para wajib pajak mau mengeluarkan pajaknya untuk pembangunan negara. Mereka bukan saja warga yang taat, melainkan juga penolong bagi sesama.
Ketika terjadi kesenjangan ekonomi, mereka sedih melihat saudara sendiri susah, berusaha memahami kesulitan orang lain, dan mencari jalan keluar dengan menyerahkan pajaknya. Jika tiap orang di Indonesia memiliki sikap ini, niscaya tidak ada lagi kecemburuan sosial, kriminalitas, dan kelaparan. Semua akan saling empati. Lagi-lagi, sudah sepatutnya kita berbangga, mengapresiasi program anak bangsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Meskipun Singapura sempat menolak program ini, tetap kita harus dukung terus program pemerintah. Wajar saja, negara Singa itu memang salah satu pihak yang paling kelimpungan dengan adanya program ini.
Bagaimana tidak? Jutaan dolar uang gelap wajib pajak Indonesia tersimpan di sana, untuk selanjutnya diputar guna memperlancar pembangunan mereka. Sebegitu takutnya, Singapura sampai rela mensubsidi 4 persen dari total dana yang tersimpan kepada pemerintah Indonesia, asalkan seluruh dana itu tidak kembali ke rumah asalnya.
Namun, kita tidak boleh lengah. Pemerintah sebagai pelaksana mandat konstitusi pun harus tetap berwibawa. Perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip demokrasi, kebersamaan, keadilan, dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat seperti tertuang dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945. Jangan sampai, iming-iming subsidi itu memupuskan niat tulus membangun negara. Dan kini, pemerintah memang telah menunjukkan kewibawaannya melanjutkan Tax Amnesty hingga selesai. Inilah sebaik-baiknya pelayan masyarakat.
The government is from the people, by the people, and for the people. Terakhir, perlu diingat bahwa pajak adalah urat nadi pembangunan. Tanpanya, pembangunan tidak akan berjalan dan kemajuan mustahil diraih. Meskipun Tax Amnesty telah berakhir, kita masih berkewajiban mengontrol penggunaan dana 956.793 wajib pajak yang telah berani mengungkapkan hartanya itu. Jangan sampai, kegelapan perpajakan terulang kembali. Inilah saatnya, melangkah pasti menyongsong pembangunan yang cerah menanti! Jayalah negeriku, jayalah masyarakatku!