Jakarta, CNN Indonesia -- Pada tahun 1965 di Gloucestershire Utara, Inggris, seorang perempuan terlahir dengan gangguan kejiwaan yang membikinnya susah bergaul, lebih banyak menghayal, bahkan seolah-olah hidup bersama imajinasinya yang kian menjadi. Masa kecil sampai dengan remaja, dilaluinya dengan tidak begitu istimewa.
Tamat dari kuliah, Ia bekerja di Manchester sebagai sekretaris di sebuah organisasi. Namun, tak lama kemudian, ibunya meninggal dunia. Ia lalu berhenti bekerja.
Sebelumnya, Ia menikah dan dikaruniai seorang anak tetapi akhirnya bercerai jua. Dan ia memutuskan untuk menuliskan rentetan kesedihan dan depresinya itu menjadi sebuah cerita tentang seorang anak yatim piatu berkacamata bulat yang memiliki masa depan yang heroik. Cerita tersebut kemudian dibukukan dan dipublikasi pertama kali pada tahun 1997.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga tahun 2013, buku tersebut telah laku keras bahkan mencapai 430 juta kopi di seluruh dunia. Buku itu berjudul
Harry Potter dalam tujuh seri. Dan perempuan itu bernama J.K. Rowling.
Pada tahun 1842, di sebuah distrik pedesaan Chemnitzer Land, Jerman, seorang pria bernama Karl May lahir dengan kondisi cacat buta akibat kekurangan gizi. Pada umur lima tahun, ia dioperasi dan bisa melihat lagi.
Masa remajanya dihabiskan dengan bolak-balik mendiam di jeruji besi karena ia kerap kali melakukan pencurian. Hal itu terjadi sampai umurnya mencapai 27 tahun. Namun hebatnya, di dalam penjara itulah Karl May melahap semua buku bacaan yang tersedia, terutama buku-buku geografis di wilayah Amerika Serikat serta hal ihwal mengenai suku Indian di sana.
Setelah khatam, Karl May mulai menuliskan kisah petualangannya. Yakni, tentang seorang pria berkebangsaan Jerman yang memiliki ikatan erat dengan ketua Suku Indian Apache dalam melawan penindasan dan diskriminasi kulit putih di Amerika ketika itu. Keunggulannya dalam merangkai cerita, membawa isu kemanusiaan yang relevan, gaya bahasa, serta uraian yang sangat detail mengenai kondisi geografi di Amerika meski ia tidak pernah ke sana, menakjubkan semua orang yang membacanya.
Buku itu berjudul
Winnetou dalam empat seri. Konon, penggemar berat buku itu antara lain Adolf Hitler, Albert Einstein, Hermann Hesse, dan Bertha von Suttner. Termasuk para pendiri bangsa Indonesia menjadikan buku tersebut sebagai bacaan wajibnya, yakni oleh M. Hatta, Soekarno, Agus Salim, dan lainnya.
Pada tahun 2011, Muhammad Izza Ahsin, seorang penulis remaja yang punya potensi besar, tiba-tiba memilih berhenti sekolah ketika usianya baru menginjak lima belas tahun. Ia berhenti sekolah bukan karena tidak punya uang untuk bayar sekolah, Izza berasal dari keluarga berada.
Pilihan ini kemudian mendapatkan dukungan dari orang tuanya. Dalam usia sangat belia, Izza mengambil keputusan yang sangat ekstrem, berani, tidak populer dan spekulatif. Bagi jumhur orang sekolah dianggap sebagai jembatan bagi masa depan. Artinya sekolah merupakan satu-satunya formula yang tepat untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.
Tidak bersekolah –secara
a contrario – lalu dapat dimaknai berpotensi sebagai penyebab
madsu alias masa depan suram. Ketika Izza berhenti sekolah, tentu ada perspektif yang tidak umum yang ia lihat: bahwa ada sesuatu masalah serius dengan aktivitas bersekolah.
Lalu ia menulis buku. Dalam bukunya
Dunia Tanpa Sekolah, Izza berusaha menuangkan segala ide serta pemikiraannya. Dari judul bukunya ini, kiranya kita dapat meraba bahwa Izza nampaknya tidak memiliki kata-kata yang bagus mengenai sekolah.
Formalitas bersekolah ia rasakan telah memenjarakan kereativitasnya, dengan dominasi guru yang cenderung otoritarian, karenanya ia memilih berhenti seraya berseru : “Akulah Rajawali yang lepas dari jeratan.” Ia mendapat motivasi demikian, setelah membaca sederet buku J.K. Rowling dan Karl May.
Pada sekitaran tahun 2000, Noam Chomsky, sebagaimana diuraikan oleh Husni Muadz (2006), oleh The Nation dikatakan sebagai "A major scholarly resource. Not to read (him) is to court genuine ignorance," dan oleh The Guardian sebagai "Ranks with Marx, Shakespeare, and the Bible as one of the ten most quoted sources in the humanities," adalah orang yang dalam kapasitasnya sebagai intelektual tidak banyak memberikan opini (sekalipun ia sangat cerdas), dan lebih banyak membiarkan data-data dan informasi yang ia berikan berbicara sendiri.
Dalam tulisan-tulisannya yang banyak itu (30-an buku lebih tentang politik, demokrasi,
human rights,
international policy dan lain-lain, dan ratusan artikel lainnya) bisa dilihat bahwa hampir setiap
statement yang dibuatnya, di-
back up dengan dan merupakan kesimpulan logis dari data-data yang sangat kaya, dan detail.
Kita sebagai pembaca tidak merasa dihina dengan jejalan opini-opini pribadi tanpa justifikasi logis dan empiris yang memadai. Lihat, misalnya,
resource dan
notes dia dalam bukunya
Understanding Power,
The Indispensable Chomsky (2002), yang jumlah halamannya 500 halaman lebih, jadi lebih tebal dari teks atau isi buku itu sendiri (400 hal lebih).
Dalam memberikan data-datanya, ia hampir-hampir tidak percaya pada sumber-sumber sekunder atau
commentary dari orang kedua. Ia terutama selalu merujuk pada sumber-sumber asli. Tidak heran bila dialah yang pertama yang membongkar misrepresentasi atau misinterpretasi tentang posisi Adam Smith oleh para ekonom kapitalis tentang konsep-konsep
division of labor, tentang
free market,
equality, dan lain-lain.
Dia membandingkan teks asli dengan misalnya
The bicentennial edition of The Wealth of Nations (Univ. of Chicago Press) yang ternyata, menurut Chomsky "it is diametrically opposes to Smith's text on point after point." Agaknya ini terjadi karena teks aslinya ternyata "All the exact opposite of capitalism" (Chomsky, 200-221). Ia adalah hasil dari disiplin akademik yang ketat serta pembacaan buku atau literatur yang sangat banyak.
Pada tahun 1991, Sophie Amundsend sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ketika sampai di depan pasar swalayan, ia berbelok di tikungan tajam Clover Close. Saat sophie membuka pintu gerbang halamannya, dia memandang ke kotak surat. Hanya ada sebuah surat di kotak surat – dan itu adalah untuk Sophie.
Pada amplop putih tertulis: “Sophie Amundsend, Clover Close”. Di dalam amplop tersebut hanya ada secarik kertas yang tidak lebih besar dari amplopnya sendiri. Bunyinya: Siapakah kamu? Dari mana dunia ini berasa? Dia tidak tahu. Dia adalah Sophie Amundsend, tentu saja, tapi siapakah Sophie itu? Bagaimana seandainya dia telah diberi nama lain? Anne Kutsen, misalnya. Apakah dia menjadi orang lain?
Kisah-kisah semacam itu selalu memesonakan kita. Sebagaimana dicobatunjukkan oleh Jostein Gaarder dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 negara,
Dunia Sophie. Buku itu menjadi bacaan wajib dan dibaca oleh hampir seluruh akademisi sebagai pengantar dalam memahami filsafat. Termasuk dalam hal ini, Noam Chomsky sebagai salah satu pembacanya.
Pada tahun 2017, di sebuah sudut desa miskin nan terpencil di Lombok Tengah, ada anak yang hampir tak pernah membaca atau mengkhatamkan satu buku dalam setengah tahun. Selain tak termotivasi, kebutuhan pokok yang harus dipenuhi menyita waktunya bergumul dengan buku-buku. Atau barangkali tetap tidak bisa dilakukannya karena tak ada buku yang tersedia.
Namun demikian, setiap sore, di surau-surau, di masjid-masijd, ia tidak pernah alpa dan absen untuk mengaji bersama rekan-rekan serta ustadznya. Ia bisa khatam dalam sebulan. Terutama ketika ramadhan telah dekat dan tiba.
Ia tak pernah merasa letih (candu) untuk terus membacanya. Ada semangat hidup yang ia rasakan. Ada dorongan kuat, bahkan untuk menghafalkannya. Juga ketika waktu magrib tiba, selepas salat, ia me-muthola’ah di hadapan gurunya hafalan Al-Qur’an, hafalan Matan Jurumiyah, hafalan Amtsilatul Tasrifiyyah, hafalan Matan Bina, hafalan Alfiyah Ibnu Malik sejumlah seribu bait, serta kitab-kitab lainnya. Ia kemudian tebayang, bisa berangkat haji, menjadi seorang ulama yang alim shalih, dan menjadi guru yang mulia, ketika hampir tertidur lelap di desa miskin tempat tinggalnya.
Snapshot penggalan tahun-tahun di atas, adalah betapa buku sesungguhnya menjadi sumber pembelajaran,
milestone kehidupan, harapan, peluang, petunjuk hidup, dan kesempatan. Akrablah dengan buku, maka raihlah hal-hal itu. Sebagaimana qoul ulama’ yang dikutip menjadi judul tulisan ini: “khoirul jaliisi fii az-zamaani kitaabun”. Sebaik-baik teman duduk (nongkrong) adalah buku.