Semarang, CNN Indonesia -- Ini adalah kisah tentang eksplorasi pertama saya dalam rangka meraih prestasi akademik di dunia kampus. Banyak pelajaran di setiap perjalanan. Melalui tulisan ini semoga perjalanan saya bisa menjadi inspirasi bagi kamu saat hendak pergi berlomba ke mana pun. Sebab sebelum lomba, kita perlu persiapan yang baik, di antaranya persiapan mental, materi, kemampuan, dan tiket kereta juga.
Jangan sampai terjadi seperti yang tim kami alami. Kami terdiri dari tiga mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang. Saya sendiri Rosta Rosalina (angkatan 2014) dan ditemani kakak tingkat bernama Oktami Dwi Martasari (angkatan 2013) dan Nadya Ridha Rahmatunisa (angkatan 2014). Kami mengikuti Lomba Cerdas Cermat Psikologi bertajuk
Psyferia, yang diadakan oleh Universitas Padjajaran tahun 2015.
Saat itu saya masih mahasiswa semester tiga yang minim pengalaman lomba dan kurang memiliki penguasaan materi. Tema yang diangkat dalam lomba itu adalah tentang kesehatan mental. Materi tersebut belum pernah diajarkan di kelas. Untuk itu kami melakukan latihan lomba selama 1,5 bulan bersama dosen dengan sistem
drill dan belajar mandiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya penguasaan materi saja, kami juga diajarkan bagaimana kekuatan keyakinan dan visualisasi ternyata manjur dalam mewujudkan kesuksesan. Pada saat itu dosen yang membimbing kami adalah dosen yang baru beberapa bulan masuk, yaitu Ibu Salma, S.Psi, M.Psi., Psikolog. Beliau termasuk dosen psikologi klinis, sehingga memang cocok untuk tema lomba kami.
Saya yang belum paham esensi belajar psikologi klinis pun akhirnya menjadi paham. Ternyata psikologi klinis itu sangat luas dan tidak melulu membahas tentang gangguan-gangguan saja. Psikologi klinis mempelajari tentang upaya-upaya bagaimana seseorang bisa memiliki kesehatan mental yang baik.
Akhirnya hari keberangkatan pun tiba. Tetapi ada permasalahan yang bikin
shock. Suatu hari saya dan Nadya pergi ke stasiun untuk mengubah tanggal kepulangan kami.
Kami berpikir untuk mencetak tiket keberangkatan kami sehari sebelum keberangkatan. Tapi saat saya masukkan kode
booking, muncul tulisan "Maaf tiket sudah kadaluarsa". Saya pun tercengang dengan kejadian ini. Saya ulangi lagi hingga dua kali.
Nadya kemudian menepuk punggung saya. "Kenapa Ros?" tanyanya.
"Ini kok nggak bisa dicetak?" jawabku.
"Rosss.............," Nadya histeris.
Saya masih santai. "Kenapa Nad? Saya nggak salah masukin kode booking kok," saya menjawab.
"Ini tiket pesanan satu bulan yang lalu!"
Kami sangat sedih sekali. Artinya uang kami hangus. Kami terpaksa membeli tiket baru. Kebetulan yang membelikan adalah kakak kelas saya. Ia pun trauma dalam membeli tiket kereta. Drama macam apa ini? Saya hanya bisa menggelengkan kepala.
Kami mengikuti lomba di Bandung yang merupakan kota yang dingin dan cukup sering hujan. Saya untuk pertama kali salat di Masjid Raya Bandung. Ternyata yang warna hijau di foto-foto hits Instagram adalah sebuah rumput sintetis. Salut, keren banget Walikota Bandung Pak Ridwan Kamil.
Singkat kata, yang mau saya
sharing di sini adalah tujuh fakta inspiratif yang kami dapatkan setelah mengikuti lomba cerdas cermat itu:
1. Lomba kali pertama.
Ini adalah lomba cerdas cermat pertama yang saya ikuti bersama teman-teman, sekaligus lomba dan perjalanan pertama selama saya menjadi mahasiswa.
2. Berhasil masuk 5 besar.
Keren ya bisa begitu. "
We didn't expect to be winner," kata teman saya. Sementara saya sendiri justru bermimpi untuk menjadi pemenang. Karena pemenang itu tidak harus menang yang benar-benar mendapatkan juara, tetapi memiliki mental sebagai seorang pemenang. Akan ada perbedaan antara orang yang memiliki harapan positif dengan orang yang hanya menjalani arus. Waktu itu saya berpikir, datang dari jauh, masakan kami hanya mengikuti arus lomba? Jarak harus dibayar dengan target dan pencapaian riil (Saya orangnya perhitungan banget kali ya hahaha).
Alhamdulillah, berdasarkan hasil yang didapatkan saat semifinal, kami mendapatkan urutan keempat. Sebenarnya kalau ada juara empat, mungkin kami akan mendapatkan piala. Hehehe.
Tapi tidak apa-apa kami kalah. Mungkin karena kami masih mahasiswa semester tiga yang masih terlalu serius dalam belajar menyiapkan lomba. Oleh karena itu, kami merasa perlu mempelajari mengapa tim Unpad bisa meloloskan dua tim bersama dengan UPH (Universitas Pelita Harapan). Hebat ya Unpad, lolos dua tim. Ternyata di Unpad mereka udah punya klub lomba cerdas cermat. Jadi ada proses seleksi ketat juga.
Nah buat pelajaran saja sih. Kalau mau lomba harus memasang target. Jangan cuma berangkat dan niatnya cuma buat belajar karena Allah. Kalau bisa punya dua niat kenapa cuma satu?
Well, ini hanyalah pandangan subjektif saya saja. Sebab, ketika kita mengajukan dana delegasi dari fakultas, maka kita harus bisa bertanggung jawab hingga bisa mencapai peringkat sekian dan seterusnya. Perlu diketahui, bahwa dana fakultas yang dipakai untuk delegasi adalah dana mahasiswa yang dihimpun melalui UKT loh, jadi harus ada tanggung jawabnya.
Menurut saya sih, dengan punya target, akan membuat mental kita jadi kuat dan mengabaikan rasa pesimistis kita. Kita lomba untuk berjuang, bukan? Dan pastikan target itu diketahui oleh semua anggota tim. Jangan
expect goal sendirian, tapi tim kamu nggak tahu. Ya sama sajalah, berati kekuatan
believe-nya cuma satu orang dong hehe.
3. Salah beli tiket kereta api.
Iya ini sudah diceritakan di atas sih. Hal yang tak terduga ketika kita mau berangkat adalah ternyata Kak Okta salah beli tiket. Tiket yang dibelinya adalah tiket bulan lalu,
which is udah kadaluarsa. Ini baru ketahuan saat H-1, ketika hendak menukar tiket pulang. Saya dan Nadya yang saat itu di Stasiun Poncol.
Shock berat! Konsekuensinya, kami harus beli tiket baru lagi.
4. Merasakan penginapan horor
Ada dua tempat yang menjadi persinggahan kami di Bandung, yaitu rumah saudara Kak Okta dan rumah saudara Nadya. Pertama kami
stay di rumah saudara Kak Okta. Enak bangetlah pasti, dibikinin makan dan sebagainya. Lalu, kami harus ke TM dan jaraknya jauh banget kalau dari rumah saudara Kak Okta ke Unpad. Besoknya, jelang hari H lomba, kami berencana menginap di rumah saudara Nadya. Tapi saat pulang dari TM, tante Nadya mengabari kalau tidak bisa menerima kami, entah apa alasannya, saya lupa.
Well, sebenarnya kami udah siap dengan risiko itu. Seburuk-buruknya keadaan, kami harus siap menyewa penginapan. Hari itu sudah malam. Kami akhirnya memutuskan untuk menginap di penginapan yang murah dan sudah disarankan panitia Psyferia. Kami pun diantar hingga di depan gang penginapan.
Bayarnya lumayan sekitar Rp200 ribu per malam. Ternyata peserta dari UPH juga menginap di sana. Mereka tinggal satu kamar, ramai banget. Tapi.. Kami mendapat kamar paling pojok. Suasananya sepi, remang, kasurnya seperti tak pernah dipakai. Kamar mandinya
vintage alias kuno. Lampunya tuh kayak sinetron-sinetron yang horor, ah....pokoknya gitu deh.
Kami berdiskusi lama di kamar untuk memutuskan apakah kami tetap di sana atau keluar. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi dari sana setelah mendapatkan tumpangan di kost temannya Nadya. Temannya ini dulu pernah satu perlombaan sama Nadya sewaktu di Maranatha.
Sedih sih, uang penginapan lenyap begitu saja tanpa menikmati fasilitas di sana. Tetapi, kami tetap mengucap syukur alhamdulillah, karena kami akhirnya berempat dalam satu kamar kostan yang kecil bersama teman Nadya.
Masya Allah. Ternyata, Allah ada di Bandung. Dan akan selalu ada bagi HambaNya yang sabar.
5. Karena lomba, jadi belajar psikologi klinis dan psikologi kesehatan mental.
Inilah salah satu manfaat yang amat positif, saya jadi belajar mata kuliah yang belum saya dapatkan.
Overall berat sih, tapi ternyata simpel. Tips buat menang lomba cerdas cermat: harus banyak baca dan mencatat, terus juga
drill pertanyaan. Itulah yang bikin makin ingat dan makin paham.
6. Ditemani dosen pembimbing, Ibu Salma.
Untuk pertama kalinya kami ditemani oleh dosen pembimbing yang berjasa. Terima kasih Bu Salma! Oh ya, Bu Salma ini menginap di kost harian tempat kami menumpang temannya Nadya loh. Murah, cuma Rp50 ribu. Wahahah, tahu begitu kami dari awal mencari kostan harian saja ya.
Berkat lomba ini kami jadi dekat dengan beliau. Beliau adalah dosen psikologi klinis. Sebelum berangkat kami diberi asupan video tentang Rebecca, sebuah tongkat yang muter-muter elastis itu loh, apa ya namanya? Pokoknya video itu menekankan tentang
believe dan visualisasi yang jelas akan membuat kita bisa melakukan seperti apa yang kita inginkan.
So, believe it and make it visualization for our dreams or goals! Also, practice makes perfect!7. Ternyata lomba itu menambah teman
Nah manfaat satu ini yang nggak bisa ditawar lagi, menambah teman itu menyenangkan dan bisa sharing kehidupan di kampus mereka dan saling membandingkannya. Manfaat ini juga bikin sadar kalau di luar sana masih banyak orang-orang yang terus belajar, bahkan melebihi
struggle kita.
Ketika ketemu yang menang juga begitu. Lomba membuatku sadar, saya belum ada apa-apanya. Masih harus belajar terus.
Salam menginspirasi dari saya.