Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang mumpuni di berbagai bidang. Tapi sumber daya hebat itu sulit bersaing dengan orang-orang asing di tengah makin buramnya batas-batas negara, oleh sebab keterbatasan kemampuan berbahasa asing.
“Oleh karena itu, menurut saya bahasa adalah kunci,” tutur Tomy Yunus, CEO Squline, platform kursus bahasa asing berbasis aplikasi mobile di Jakarta, Rabu (6/12). “Kalau kita mau membangun hubungan dengan dunia luar, kita harus bisa bahasa mereka juga.”
Pembelajaran bahasa asing kini tak harus berbasis pertemuan di kelas. Di Indonesia sedang berkembang industri teknologi edukasi (education technology) dengan pemain yang belum terlalu banyak. Dengan teknologi ini, murid dan guru dipertemukan di dunia maya melalui platform khusus, contohnya melalui aplikasi mobile.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pemain di industri itu adalah Squline, yang sudah hadir di Indonesia sejak 2013. Platform ini mempertemukan pelajar dan guru-guru bahasa asing (Mandarin, Inggris, dan Jepang) melalui dunia maya.
Proses belajarnya bisa one to one atau kelas, dengan biaya mulai Rp500 ribu per siswa per bulan. Saat ini sudah ada 3.000 lebih siswa yang dilayani platform ini melalui pengajaran 120 guru yang berada di China, Filipina, dan Indonesia sendiri.
Hari ini Squline meresmikan jalinan kerja sama dengan Pusat Pengajaran Bahasa Atma Jaya untuk pengembangan kurikulum belajar Bahasa Inggris yang dipadukan dengan metode belajar online.
Katharina Endriati Sukamto, Kepala PPB Atma Jaya, mengatakan teknologi dan pendidikan tak bisa lagi dipisahkan. Itulah mengapa, PPB Atma Jaya, bersedia bekerja sama dengan Squline untuk mengembangkan pengajaran bahasa asing melalui perangkat teknologi.
“Teknologi itu tidak bisa berkembang tanpa bahasa, dan kami ingin melengkapi itu melalui pendidikan bahasa ini,” tutur Katharina.
Industri teknologi edukasi atau yang biasa disebut Education Technology (Edtech) memang sedang bertumbuh dengan pemain yang belum banyak. Salah satunya adalah Squline.
Menurut data elearningindustry.com, industri pendidikan online di Indonesia menempati urutan ke-8 di seluruh dunia berdasarkan jumlah permintaan market e-learning setiap tahun. Yaitu 25 persen lebih besar dari rata-rata di Asia Tenggara, sebesar 17,3 persen.
Indonesia juga diproyeksikan sebagai top 5 buyer of mobile learning product and services di dunia. Indonesia di urutan ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Di belakang kita ada India dan Brazil.
“Pangsa teknologi edukasi di Indonesia sangat tinggi,” kata Peter Shearer, Chief Business Development Officer WIR Group.
Ini didukung pengguna Internet yang makin besar. Begitu juga pengguna smartphone. Dampaknya, lahirlah generasi C, yang didasarkan pada pola perilakunya, bukan golongan umur.
Gen-C, kata Peter, adalah orang-orang yang selalu terhubung dengan Internet. Mereka ini golongan yang masih menonton televisi, tapi untuk belajar sudah menggunakan smartphone.
Pada masa depan, kata Peter, teknologi Augmented Reality dan hologram, akan semakin diadaptasi di berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan.
“Guru enggak perlu lagi datang ke kelas, dia bisa kapan saja, di mana saja, untuk mengajar,” kata dia.
(ded/ded)