Jakarta, CNN Indonesia -- “Para penumpang yang terhormat jika ada yang berprofesi dalam bidang tenaga medis, kami mohon untuk menuju ke kabin depan pesawat sekarang juga. Sekali lagi bagi penumpang yang bekerja dalam bidang medis, kami mohon untuk menuju ke kabin depan pesawat sekarang juga.”
Pernahkah kamu mendengar pengumuman seperti di atas saat sedang menaiki pesawat? Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar pengumuman seperti itu?
Pengumuman seperti itu pertama kali saya dengar saat sedang menaiki pesawat salah satu maskapai penerbangan swasta dari Bandar Udara Kualanamu Medan menuju Bandar Udara Soekarno Hatta Cengkareng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, pertanyaan adik saya setelah mendengar pengumuman tersebut membuat saya berpikir kembali dan akhirnya menjadi inspirasi bagi saya menulis artikel ini. Pertanyaan yang diajukan adalah, “Apakah di tiap-tiap kru pesawat terbang tidak ada dokter yang bertugas sebagai tenaga medis khusus penerbangan?”
Setiap kru atau awak kabin pesawat pastinya sudah menguasai ilmu pertolongan pertama medis. Hal itu sudah dipelajari dari masa-masa pelatihan mereka. Namun pertolongan pertama saja rasanya tak cukup. Perlu tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan medis lebih mendalam untuk memberi pertolongan pada pasien-pasien gawat darurat yang berada di pesawat.
Harian Kompas pada Senin, 13 November 2017 memberitakan tentang kurangnya spesialis kedokteran penerbangan di Indonesia. Dari sekian banyaknya fakultas kedokteran yang ada di Indonesia, hanya satu yang memiliki program studi spesialis kedokteran penerbangan.
Saat ini, baru ada 50 lulusan dokter spesialis kedokteran penerbangan. Padahal, dilihat dari jumlah bandara yang ada 237 di Indonesia, jumlah ini sudah sangat kurang (Kompas, 13/11/2017).
Kedokteran penerbangan sendiri merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari community medicine. Spesialisasinya khusus menangani kesehatan di bidang penerbangan dan lingkungan sekitarnya terutama yang berhubungan dengan awak pesawat, ground crew, sarana penunjang, penumpang pesawat, dan orang-orang di sekitar pangkalan udara.
Menurut Soemardoko Tjokrowidigdo selaku Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia. Saat ini baru Universitas Indonesia (UI) yang memiliki fakultas kedokteran dengan program studi spesialis kedokteran sejak 2012.
UI menyediakan lembaga kesehatan penerbangan dan ruang angkasa (lakespra) sebagai pusat pelatihan. Soemardoko juga mengatakan, fakultas ini baru menghasilkan 50 lulusan dari lima angkatan pertama. Rata-rata, para lulusan ini baru menangani kelompok penerbangan saja seperti awak pesawatnya.
Padahal, dokter spesialis penerbangan masih dibutuhkan untuk menangani kebutuhan penumpang dan pusat kesehatan masyarakat di bandara.
Dibutuhkan di beberapa BidangKebutuhan akan dokter spesialis kedokteran penerbangan ini bukan semata untuk mengisi kekosongan tenaga medis di bandar udara. Lebih dari pada itu, spesialis kedokteran penerbangan masih dibutuhkan di bidang-bidang lain baik dari segi pendidikan maupun di sektor penerbangannya sendiri. Setiap aspek yang membutuhkan dokter spesialis kedokteran penerbangan ini masih kekurangan tenaga.
Dilansir dari Kompas, Spesialis kedokteran penerbangan masih dibutuhkan di berbagai bidang. Beberapa kebutuhan tersebut seperti untuk kepentingan tenaga pendidik, bandara, penumpang, awak pesawat, dan operator penerbangan.
Trevino mengatakan, tenaga spesialis kedokteran penerbangan sekarang ini masih terpusat untuk bandara internasional, itu pun masih belum ideal.
Bandara Soekarno-Hatta yang seharusnya memiliki lima dokter spesialis kedokteran penerbangan saja saat ini hanya memiliki satu dokter. Kekosongan jumlah dokter spesialis kedokteran penerbangan ini diisi oleh dokter umum yang sudah mendapatkan kursus dokter penerbangan sekitar enam bulan. Meski demikian, dokter-dokter ini belum sesuai dengan standar yang dibutuhkan, seperti lulusan spesialis kedokteran penerbangan.
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia pun mengatakan, jumlah pendidik juga masih kurang. Tenaga pendidik yang saat ini mengajar di prodi kedokteran penerbangan 80 persen masih berasal dari dokter angkatan udara. Padahal, akan lebih baik jika diisi lulusan universitas yang bersangkutan.
Keberadaannya Krusial dan DibutuhkanKeberadaan dokter spesialis kedokteran penerbangan ini penting dan sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi kru penerbangan itu sendiri tapi juga penumpang dan orang-orang lain di lingkungan penerbangan. Jika mengingat kasus-kasus kecelakaan pesawat yang pernah terjadi, tidak sedikit di antaranya yang terjadi akibat kesalahan manusia atau human error.
Kesehatan kru pesawat juga turut andil dalam hal ini. Bukan tidak mungkin, kecelakaan ataupun hal-hal buruk yang tidak diinginkan dapat terjadi akibat kondisi kesehatan kru pesawat.
Penempatan dokter-dokter spesialis kedokteran penerbangan ini juga masih belum ideal. Dilansir dari skalanews.com perwakilan dari dokter SpKP FK UI, dr. Griselda P.S Aer mengatakan, dokter-dokter spesialis ini belum eksis di tempat seyogianya lulusan kedokteran penerbangan ditempatkan seperti maskapai dan sekolah penerbangan.
Menjadi catatan baik bagi mahasiswa kedokteran yang akan mengambil spesialisasi, dan juga bagi pemerintan serta maskapai penerbangan yang ada di Indonesia untuk mencari solusi atas hal ini. Kebutuhan tenaga medis spesialisasi kedokteran penerbangan sangat diperlukan.
Pemerintah dan pihak perusahaan maskapai penerbangan bisa menarik minat para calon doker spesialis ini untuk memilih spesialisasi dengan memberi beasiswa ataupun insentif lainnya bagi pada calon dokter ini. Dengan demikian, kebutuhan akan dokter spesialis kedokteran penerbangan pun dapat mencapai jumlah ideal sesuai kebutuhan yang ada.
(ded/ded)