Jakarta, CNN Indonesia -- Kita tentu telah mengetahui bahwa pajak memiliki banyak sekali manfaat. Terlepas dari bagaimana masyarakat awam memandang pajak, namun pajak memiliki peruntukan yang banyak sekali bagi kehidupan bernegara. Dana pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga dana penanggulangan bencana hampir seluruhnya bersumber dari pajak. Walhasil, hampir setiap waktu pula kita memanfaatkan fasilitas yang didanai oleh pajak.
Dalam kurun waktu 6 tahun terakhir, yakni tahun 2011 sampai 2016, rata-rata kontribusi penerimaan pajak terhadap belanja APBN adalah 58%. Angka yang sudah cukup ramping ini kemudian dipersulit dengan kenyataan bahwa tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah terhadap PDB negara hanya sebesar 10%. Angka tax ratio yang rendah ini menunjukkan bahwa potensi pajak di Indonesia masih sangat besar, namun pemerintah masih menemui banyak kendala hanya untuk sekedar memungut pajak.
Gap antara kebutuhan belanja pemerintah dengan pendapatan pajak yang diterima pada akhirnya harus dipenuhi pemerintah melalui berbagai macam upaya, mulai dari bantuan pinjaman hingga hibah dari negara donor. Namun kini, semakin luas disadari bahwa apa yang disebut sebagai ‘penerimaan pembangunan’ pada masa Orde Baru tersebut sudah tidak bisa dipandang netral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip pernyataan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2008, bahwa pajak bukanlah faktor penentu pembangunan yang cepat, tetapi ia menjadi salah satu pilar bagi sebuah negara yang efektif dan mampu menyediakan dasar bagi sistem pertanggungjawaban yang demokratis, memberikan pengertian kepada kita bahwa pajak menjadi hal yang sangat krusial bagi peradaban sebuah negara.
Pajak perlu dipandang sebagai representasi dari bagaimana sebuah kemandirian ekonomi sebuah negara terbangun, tercapainya good governance dari pemerintahannya dan mengangkat kembali apa yang kita sebut sebagai demokrasi. Dengan demikian, pajak tidak lagi dipandang hanya dari segi ekonomi, lebih dari itu, pajak adalah sebuah kebijakan pemerintah yang perlu dipandang dari berbagai disiplin ilmu, termasuk politik.
Terdapat sebuah adagium kuno berbunyi “tak seorang pun rela membayar pajak”, bahwa sesungguhnya tak ada seorangpun yang mau secara sukarela membayar pajak. Namun, Gary dan Schultz dalam jurnal ilmiahnya mengemukakan bahwa berdasarkan bukti empiris, masyarakat akan secara sukarela membayar pajak dengan alasan bahwa mereka menghargai barang atau jasa publik yang disediakan pemerintah (yang tentu dananya bersumber dari pajak).
Maka dengan harapan pemerintah saat ini semakin gencar melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di Indonesia dan dengan makin baiknya birokrasi yang berjalan di pemerintahan, diharapkan masyarakat akan semakin percaya bahwa uang pajak yang ‘ditarik’ pemerintah digunakan secara tepat guna dan hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Membangun kepercayaan masyarakat atau
public trust demi meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membayar pajak tentu tidak mudah. Ada banyak catatan kecil dan besar yang perlu dibenahi oleh pemerintah saat ini. Namun demikian, hal yang utama tentu bergantung pada bagaimana aparat pemerintah saat ini mau dan mampu berdiri di garis paling depan untuk melawan pemberantasan korupsi, termasuk penghindaran dan pengelakan pajak, serta mampu memanfaatkan berbagai aspek disiplin ilmu yang ada demi menciptakan produk kebijakan yang berkeadilan dan ‘ramah’ bagi wajib pajak, dengan tujuan mencapai kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
(ded/ded)