Apa Itu Redenominasi Mata Uang, Faktor Pendorong, dan Contohnya

CNN Indonesia
Rabu, 19 Nov 2025 10:30 WIB
Ilustrasi. Redenominasi kembali ramai diperbincangkan setelah pemerintah kembali menggaungkan rencana tersebut. Lantas, apa itu redenominasi pada mata uang? (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Istilah redenominasi menjadi perhatian publik setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Bank Indonesia (BI) yang mempertimbangkan kembali kemungkinan rencana penerapannya pada mata uang rupiah.

Namun, masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami apa itu redenominasi dan contohnya.

Bagi sebagian masyarakat, istilah redenominasi kerap disalahartikan sebagai "pemotongan nilai uang" atau devaluasi. Padahal, keduanya merupakan hal yang berbeda. Untuk memahaminya, simak penjelasan berikut ini.


Apa itu redenominasi?

Melansir penjelasan dalam berkas DPR RI, isu redenominasi rupiah pertama kali muncul di Indonesia pada akhir 2010 ketika Bank Indonesia (BI) mewacanakan penyederhanaan nilai mata uang nasional.

Gagasan ini sebenarnya sudah dibahas sejak awal 2010-an sebagai bagian dari reformasi sistem keuangan nasional, dan kini kembali relevan di tengah dorongan efisiensi ekonomi serta perkembangan transaksi digital.

Secara sederhana, redenominasi adalah pengurangan angka nol pada uang tanpa mengubah nilai atau daya belinya yang diikuti penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang.

Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, tetapi nilainya tetap sama. Artinya, barang yang dulu dibeli Rp1.000 tetap bisa dibeli dengan Rp1 setelah redenominasi.

Meski sering disalahartikan sebagai pemotongan nilai uang (sanering), keduanya adalah kebijakan yang berbeda. Redenominasi hanya menyederhanakan tampilan angka agar sistem pembayaran dan transaksi menjadi lebih praktis, sementara nilai ekonomi tetap sama.

Hal ini ditegaskan pula oleh Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi. Ia mengatakan redenominasi hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak.

Redenominasi tidak mengubah daya beli, pendapatan riil, serta tidak menciptakan lapangan kerja dan tidak memperkuat struktur industri.

"Redenominasi hanya menukar tampilan, bukan substansi," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/11).

Syafruddin menambahkan, redenominasi kerap digaungkan untuk mempermudah pencatatan, efisiensi pembukuan, dan persepsi stabilitas.


Faktor pendorong redenominasi

Melansir penjelasan dalam buku Sejarah Uang: Dari Barter ke Rupiah karya MiftaChun Nur, kebijakan redenominasi rupiah muncul dari kebutuhan untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih efisien dan stabil.

Ada beberapa faktor utama yang mendorong langkah ini, di antaranya:

  1. Penyederhanaan transaksi: Angka nol dikurangi agar sistem pembayaran, akuntansi, dan transaksi sehari-hari menjadi lebih mudah dan efisien.
  2. Perbaikan citra rupiah: Melalui redenominasi, pemerintah berharap dapat memperkuat kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia sekaligus menunjukkan tanda pemulihan yang lebih solid.
  3. Meningkatkan daya saing ekonomi: Nilai tukar yang lebih sederhana dan mudah dibandingkan akan memberi kesan mata uang yang kuat dan stabil di mata dunia.
  4. Menjaga stabilitas makroekonomi: Dengan sistem nilai yang lebih ringkas, pengawasan terhadap arus uang dan kebijakan fiskal menjadi lebih mudah, terukur, dan transparan.


Contoh redenominasi

Redenominasi bukan hal baru di dunia. Sejumlah negara telah berhasil melakukannya dengan tujuan menyederhanakan sistem keuangan.

Salah satu contoh paling dikenal adalah Turki, yang pada tahun 2005 menghapus enam angka nol dari mata uangnya. Nilai satu juta lira diubah menjadi satu lira baru, sebagai bagian dari upaya menstabilkan ekonomi setelah mengalami inflasi tinggi sejak dekade 1970-an.

Selain Turki, beberapa negara lain juga menjalankan kebijakan serupa. Islandia menghapus dua angka nol pada tahun 1981, sementara Rusia melakukan redenominasi sebanyak tiga kali-pada 1947, 1961, dan 1998-masing-masing dengan mengurangi tiga angka nol.

Sebagai informasi tambahan, meski membawa manfaat besar, redenominasi juga memiliki sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satunya adalah risiko ekonomi berupa pembulatan harga ke atas yang berpotensi mendorong inflasi.

Contoh sederhananya, barang seharga Rp3.500 setelah redenominasi menjadi Rp3,5 tetapi bisa saja dibulatkan menjadi Rp4 atau mungkin Rp5 dengan alasan pembulatan atau kepraktisan. Jika terjadi secara luas, kondisi ini dapat memicu lonjakan harga yang signifikan.

Demikian ulasan lengkap mengenai apa itu redenominasi dan contohnya.

(han/fef)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK