Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau yang dikenal dengan Tim Antimafia Migas tengah membahas sejumlah opsi mengenai wacana perubahan kontrak bagi hasil
(production sharing contract) dalam pengusahaan sektor hulu minyak dan gas bumi.
Opsi yang mengemuka antara lain mempertahankan konsep
production sharing contract (PSC) yang sudah ada, mengubah PSC menjadi pajak dan royalti, atau menerapkan
service contract sebagai alternatif.
"Sebenarnya ada beberapa opsi yang muncul. Pertama, tetap mempertahankan konsep sekarang yang menggunakan skema PSC, tapi ada juga yang mengusulkan agar konsep PSC diubah menjadi
royalty and tax dengan mempertimbangkan sejumlah aturan (turunan) dan tidak bisa digeneralisir. (Ketiga) ada juga yang mengusulkan bentuknya s
ervice contract," ujar Fahmy Radhi, salah satu anggota Tim Reformasi Migas di Jakarta, Rabu (25/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahmy mengungkapkan dua usulan terakhir muncul karena mempertimbangkan keberadaan
cost recovery yang dinilai menjadi pintu masuk bagi para mafia migas untuk meraup keutungan.
Cost recovery merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayar pemerintah ke kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) atas biaya investasi yang dikeluarkan perusahaan pada saat kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
Menurut Fahmy, banyak pihak menganggap
cost recovery yang dilaporkan KKKS ke pemerintah kerap dimanipulasi demi memperoleh tambahan keuntungan. Karenanya, Fahmy mengusulkan agar keberadaan
cost recovery ditinjau ulang.
"Kalau kaitannya dengan wacana perubahan, tentunya dengan (menggunakan)
royalty and tax dan service contract, komponen
cost recovery akan ditiadakan. Tapi ini belum final karena ada pertimbangan-pertimbangan
cost recovery akan tetap ada lantaran kesulitan area dan resikonya," tutur Fahmy.
Sementara itu, bekas Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang kini bernama SKK Migas, R. Priyono tak sepaham dengan usulan Tim Antimafia Migas mengenai perubahan PSC menjadi royalty and tax dengan menghapus
cost recovery. Ia menilai penggunaan instrumen pajak terlalu mengedepankan kepentingan KKKS dan memunculkan sistem kapitalis.
"Kalau kita pinter,
cost recovery bisa jadi pendamping APBN agar bisa dibelanjakan di dalam negeri dan menggerakan roda perekonomian kita. Satu sektor saja bisa menghasilkan Rp 200 triliun," ujar Priyono.
Berangkat dari hak itu, ia pun tak sepaham dengan wacana perubahan konsep PSC. "Loh
cost recovery kan impact dari investasi. Siapa yang mau investasi tapi tidak dibayar
costnya. Itu kan suatu hal yang alamiah," tutur Priyono.
(ags)