Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) untuk memangkas dana penggantian investasi hulu minyak dan gas bumi (
cost recovery) menjadi US$ 14,1 miliar menimbulkan pro-kontra. Pasalnya hal tersebut telah ditetapkan sebagai suatu kesepakatan, pada saat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dipusingkan dengan upaya menjaga investasi sektor hulu ditengah melemahnya harga minyak dunia.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi yang instansinya mengusulkan dana
cost recovery sebesar US$ 16,5 miliar untuk masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2015 menyatakan pemangkasan US$ 2,4 miliar tersebut sebagai hal yang berat.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut memperkirakan pemangkasan anggaran
cost recovery akan berdampak pada penurunan kegiatan produksi yang dilakukan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Angka US$ 16,5 miliar saja sudah berat apalagi kalau diturunkan ke US$ 14,1 miliar. Kami akan berdiskusi dengan KKKS untuk meyakinkan mereka agar produksi tidak terganggu," ungkap Amien di Jakarta, Rabu (4/2).
Namun, hal berbeda justru disampaikan oleh para pengamat sektor energi seperti Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute. Komaidi justru menilai pemangkasan biaya penggantian pemerintah atas nilai investasi dan dana produksi migas yang dikeluarkan tersebut dinilai akan menjaga penerimaan negara di tengah lemahnya harga minyak dunia.
"Toh,
cost recovery itu kan bisa
carry over atau dibayarkan ketika kontraktor sudah mulai memproduksi migas dari wilayah kerjanya. Jadi tidak harus dibayarkan tahun ini juga disaat harga minyak dunia sedang jelek," ujar Komaidi.
Dia menegaskan, meski
cost recovery dipangkas bukan menjadi alasan target
lifting minyak Indonesia tahun ini di angka 825 ribu barel per hari (BPH) tak tercapai. "Malah saya lihat pemangkasan ini bisa menjadi siasat untuk pemerintah dalam mengamankan target penerimaan negara dari migas yang tahun 2015 hanya mencapai Rp 139,4 triliun. Paling yang tidak setuju itu perusahaan migas," tuturnya.
(gen)