Manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) tengah menyelamatkan sejumlah aset negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah dari ancaman mafia tanah. Sedianya, perusahaan pelat merah tersebut akan terus menempuh jalur hukum atas sengketa lahan seperti di Medan (Sumatera Utara), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur).
“Kenapa triliuan, karena aset-aset properti ini posisinya di tengah kota. Kalau dulu itu aset-aset tersebut di pinggir kota dan karena perkembangan maka aset-aset ini sekarang berada di tengah kota. Akhirnya apa, akhirnya nilai atau value aset-aset ini menjadi sangat tinggi,” kata Direktur Utama PT KAI, Edi Sukmoro di Jakarta, Jumat (7/3).
Berdasarkan catatan KAI, dari total aset tanah seluas 27 ribu hektar hanya 54 persen diantaranya yang memiliki sertifikat beratasnamakan KAI. Sementara untuk aset bangunan rumah dinas, dari 16 ribu unit yang tercatat hanya 54 persen aset yang bersertifikat dan sisanya dalam status bermasalah.
Pada langkah awal, Edi bilang pihaknya akan memfokuskan pekerjaan rumahnya ini di wilayah wilayah tersebut. “Ada aset yang ada di Sumatra Utara. Saya katakan aset ini sangat penting karena aset tersebut sebenarnya posisinya benar-benar di balik stasiun di Medan. Luasnya kurang lebih 7,2 atau 7,3 hektar,” ujar Edi.
Edi mengungkapkan, lahan bermasalah KAI di Medan itu kini telah dibangun pusat perbelanjaan dan apartemen oleh pihak ketiga tanpa memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sengketa lahan di Medan sendiri saat ini masih diproses hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain di Medan, lanjutnya Edi, KAI juga mengklaim memiliki aset tanah seluas 1,4 ha di Semarang yang kini sudah berpindah tangan ke pihak swasta. Ia menduga berpindahnya stasus kepemilikan tak lepas dari adanya tukarguling antara Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang dengan PT Teguh Saka yang terjadi saat KAI bernama Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
“Aset yang ada di Semarang ini posisinya ada di Jurnatan, dekat pasar Johar. Aset ini dulunya itu stasiun entah bagaimana caranya aset ini tahu-tahu bisa dipegang oleh swasta,” ujar Edi.
Sedangkan untuk lahan di Surabaya, Edi mengakui bahwa sengketa tanah terjadi karena adanya masalah terkait pelaksanaan Kerjasama Operasi (KSO) antara KAI dan PT Senopati Perkasa (SP). Dimana masalah tersebut mencakup perbedaan klaim luas lahan di Stasiun Surabaya Pasarturi, Kurang adanya koordinasi terkait pembongkaran stasiun di Stasiun Surabaya Kota, hingga ketidaksanggupan PT Senopati Perkasa untuk mengosongkan lahan di Stasiun Wonokromo Kota.
“Ini masalah kontrak dengan pihak lain yang tidak berjalan dengan baik yang akhirnya memang ini terhenti. Ini kasus perikatan KSO dengan PT Senopat Perkasa. Ini sedang kita urus sedang, kita benahi,” kata Edi.
(dim/ags)