Jakarta, CNN Indonesia -- Pada Jumat sore, 15 Mei 2015, Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla mengagendakan pertemuan dengan para pengusaha tambang mineral yang berkomitmen membangun pabrik pemurnian (
smelter) di Tanah Air.
Ketika mendengar kabar tersebut, Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) segera mengutus stafnya ke kantor Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM untuk memastikan namanya masuk dalam daftar tamu yang diundang.
Erry merasa laik diundang karena saat ini ia tercatat pula sebagai Direktur Utama PT Harita Prima Mineral Abadi, di mana perusahaan afiliasinya PT PT Well Harvest Winning Alumina Refinery sedang merealisasikan pembangunan
smelter senilai US$ 1 miliar di Kepulauan Riau. Saat ini pembangunan proyek pabrik pemurnian berkapasitas produksi alumina sekitar 2 juta ton per tahun itu sudah sekitar 20 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Laporan dari staf saya yang sore itu ada di Ditjen Minerba, dia bilang nama saya tidak ada (dalam daftar undangan). Baru belakangan nama saya ada," ujarnya dalam sebuah seminar yang diinisiasi komunitas
blogger, Senin (25/5).
Erry mulai merasa janggal dengan kejadian itu. Sebab, bekas anak buahnya yang kini bekerja di perusahaan tambang lain justru masuk dalam daftar undangan. Anehnya perusahaan tempat bekas anak buahnya berkarir sebagai direktur itu belum berkomitmen untuk membangun
smelter.
Keanehan semakin bertambah ketika acara yang ditunggu berlangsung. Saat itu senja mulai menggantung di langit Istana Negara. Para tamu undangan dibagi dalam dua lajur, kiri dan kanan. Erry mendapat tempat di lajur kiri.
Menko Perekonomian Sofyan DJalil kala itu bertindak sebagai moderator, mendampingi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla di jajaran depan. Karena mendekati maghrib, Sofyan langsung mengatur ritme dialog, dengan membagi kesempatan bertanya kepada audience masing-masing dua penanya untuk lajur kiri dan kanan.
Lajur kanan mendapat kesempatan pertama, dua penanya terjaring di sisi itu. Dengan semangat menggebu-gebu, Erry pun sudah ambil ancang-ancang bertanya dengan mengacungkan jari.
Namun, kesempatan itu tak kunjung datang ke dirinya maupun rekan-rekan penanya lain di lajur kiri. Mekanisme diskusi yang telah diatur Sofyan Djalil semakin tak jelas karena lajur kanan justru mendapatkan kesempatan lebih banyak.
"Setelah dua penanya di kanan saya berdiri,
loh kok tidak ditunjuk. Dia (Sofyan Djalil) malah tunjuk kanan lagi sampai enam orang penanya," kata Erry mengeluh.
Azan maghrib pun berkumandang, Erry menahan diri untuk bicara dan semua yang berada di ruangan tersebut terdiam. Selepas azan, Erry yang tak sabar lantas berdiri dan menyacungkan tangan untuk bertanya.
"Menurut analisa saya sudah ada upaya untuk menghalangi saya untuk bicara. Sengaja membuat molor waktu sampai azan," katanya.
Akhirnya Sofyan mempersilahkan Erry berbicara lewat
microphone yang tersedia. "Eh
mic-nya mati, tidak bisa (bunyi). Terus saya mutar cari
mic. Begitu ada indikasi diskriminasi saya tidak peduli, saya ngomong tapi distop-stop sama Sofyan Djalil," katanya.
Pada kesempatan itu, Erry menyampaikan uneg-unegnya soal perlakuan pemerintah yang terkesan tak adil menerapkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang telah diberlakukan sejak Januari 2014. Menurutnya, perusahaan-perusahaan tambang yang tergabung dalam APB3I punya kapasitas produksi yang cukup besar dan setara dengan Freeport sehingga berhak pula mendapatkan perlakuan khusus berupa izin ekspor.
"JK mengatakan, memang tidak bisa ekspor semua, ada pengecualian," tutur Erry menirukan pernyataan Wapres.
Jokowi pun membuat konklusi untuk menutup diskusi. Ada dua poin yang keluar dari mulut presiden. Pertama, pengecualian larangan ekspor bisa diberikan bagi perusahaan yang investasi smelter.
"Kedua, memerintahkan Menteri ESDM untuk segera mempertegas antara kewenanganya dengan kewenangan Menteri Perindustrian," ucap Erry Sofyan.
Dalam forum yang sama, curahan hati Erry diluruskan oleh Andre Budiman Firmanto, Kepala Seksi Direktorat Operasi dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM. Dia mengakui secara tak sengaja terjadi kelalaian dalam mendata tamu undangan.
"Tapi perlu kami luruskan justru Kementerian ESDM yang minta agar Pak Erry Sofyan harus hadir pada pertemuan itu," jelasnya singkat.
Dirugikan Kebijakan Diskriminatif Erry cukup vokal dalam berbagai forum. Pada seminar blogger yang membahas soal kondisi tambang bauksit kali ini, Erry pun buka-bukaan soal kebijakan larangan ekspor yang dirancang pemerintahan sebelumnya terkesan diskriminatif dan tidak adil.
Menurutnya, terdapat 182 perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia. Sebanyak 77 perusahaan di antaranya sudah dalam tahap izin usaha produksi pengolahan mineral.
Sementara yang tergabung dalam APB3I sebanyak 51 perusahaan bauksit, dengan total tenaga kerja sekitar 40 ribu orang. Operasional seluruh perusahaan tersebut terbagi ke dalam tiga wilayah, yakni Pulau Bintan-Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
"Akibat pelarangan ekspor
raw material, IUP bauksit sudah menghentikan operasi produksinya dan terpaksa memberhentikan kurang lebih 40 ribu karyawan," tuturnya.
Ibarat efek bola salju, Erry mengatakan dampak negatifnya sebenarnya juga dirasakan oleh pemerintah. Potensi kerugian negara dari kebijakan tersebut ditaksir Erry mencapai sekitar Rp 17,6 triliun dalam bentuk devisa yang gagal masuk. Selain itu, penerimaan pajak negara juga hilang sekitar Rp 4,09 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berkisar Rp 595 miliar.
Berdasarkan data APB3I, cadangan bauksit Indonesia saat ini sekitar 3,2 miliar ton, di samping sumber daya bauksit yang diperkirakan mencapai 7,55 miliar ton. "Itu kalau dipakai untuk produksi alumina atau ekspor sekalipun tak akan habis dalam 200 tahun," kata Erry.
(gir/gir)