Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutusnya untuk menemui Perdana Menteri Malaysia Najib Razak minggu depan. Pertemuan itu dilakukan untuk membahas soal kerjasama minyak kelapa sawit (CPO).
Rizal menjelaskan, dalam bidang minyak kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia merupakan importir besar. Ia memaparkan, Indonesia bisa menghasilkan minyak kelapa sawit sebanyak 40 juta ton, sementara Malaysia sekitar 30 juta ton.
"Jadi kita ingin kerjasama dengan Malaysia, supaya kita bisa dapat nilai tambah lebih besar dari
palm oil," ujar Rizal di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (19/8) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rizal juga menyampaikan, pemerintah Indonesia berencana membangun pusat pemrosesan minyak kelapa sawit turunan di Kalimantan Timur. Langkah tersebut, ucap dia, diambil supaya Indonesia dan Malaysia tidak hanya menjual kelapa sawit dalam bentuk minyak kelapa sawit mentah, melainkan juga olahan turunannya, yakni berupa
oleochemical.
Rizal menyebutkan,
oleochemical ini bisa diproses menjadi sabun, bahan margarin, dan yang paling penting adalah sebagai bahan bakar pesawat jet. "Ternyata kalau dari palm oil itu bagus sekali. Kalau kita ingin jadi pemain nomor satu dalam ekspor palm oil," kata dia.
Ia menuturkan, dengan didirikannya Kawasan Ekonomi Khusus di Kalimantan Timur itu, diharapkan nantinya sawit dari Kalimantan dan Sumatra bisa dibawa ke sana untuk diproses, sehingga Indonesia tidak hanya menjual minyak kelapa sawit saja melainkan juga produk turunan yang banyak sekali manfaatnya.
"Tapi ini inisiatif besar, sehingga kita ingin merangkul Malaysia. Presiden minta minggu depan dengan PM Najib kita akan sepakati beberapa hal strategis supaya proyek ini bisa berjalan secepatnya," ujar dia.
Di sisi lain, sebelumnya kalangan pengusaha pesimistis target ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang dipatok 21 juta ton pada tahun ini dapat tercapai. Ketidakyakinan itu berangkat dari keruwetan mekanisme ekspor komoditas tersebut menyusul pungutan berganda dana pengembangan sawit (CPO
Supporting Fund) dan bea keluar (BK).
"Ini karena beberapa lembaga dan instansi terkait masih menerapkan aturan lama yang pada dasarnya menghambat kegiatan ekspor. Kami tidak yakin (capai target) meski target tahun ini tak jauh berbeda ketimbang tahun lalu yang berada di angka 20,8 juta ton," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga di kantornya, Kamis (23/7).
(gir/gir)