Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pengenaan cukai bagi minuman ringan dan minuman berkarbonasi atau bersoda ditentang pelaku usaha karena dinilai bertentangan dengan payung hukum yang berlaku. Pasalnya pengenaan cukai terhadap dua produk minuman tersebut tidak sesuai dengan karakteristik objek cukai sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Di dalam pasal 2 UU Nomor 39 disebutkan bahwa sebuah objek bisa dikenakan cukai jika konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keseimbangan. Namun Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo berkata sebaliknya.
"Minuman ringan dan minuman bersoda bukanlah sesuatu yang perlu dikategorikan ke karakteristik-karakteristik tersebut. Kalaupun pemerintah mau meningkatkan penerimaan, pasti akan sangat kecil sekali dampaknya karena produk-produk ini kecil konsumsinya," terang Triyono di Jakarta, Selasa (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, ia mengatakan kalau konsumsi minuman ringan di Indonesia rata-rata hanya sebesar 6,5 persen dari asupan kalori masyarakat setiap hari. Jika dibandingkan dengan rata-rata asupan 2 ribu kilo kalori per hari, maka konsumsi minuman ringan hanya sebesar 130 kilo kalori per harinya.
"Dengan jumlah konsumsi yang kecil, apakah pantas minuman berpemanis dikendalikan konsumsinya? Kalau misalkan pemerintah mau mengurangi konsumsi gula berlebih dari masyarakat, kenapa tidak kasih cukai saja untuk beras. Karbohidrat kan diproses dalam tubuh menjadi gula, dan rata-rata porsi konsumsinya sebesar 33 persen dari jumlah kalori yang masuk," jelasnya.
Selain itu, peredaran minuman berpemanis dan bersoda pun sudah diawasai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sehingga distribusi kedua produk olahan itu tak perlu lagi dikendalikan oleh pungutan cukai. Terlebih, efek negatif dari konsumsi minuman-minuman itu bisa dikendalikan sendiri oleh konsumen.
"Tidak ada yang namanya makanan atau minuman yang tidak baik, yang ada adalah diet yang tidak baik. Selama ini juga tak ada fakta ilmiahnya kalau minuman-minuman itu berdampak buruk ke masyarakat dan lingkungan," tegasnya.
Analisis Rencana KebijakanMelengkapi ucapan Triyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan kalau pemerintah perlu melakukan penilaian dampak kebijakan (risk regulatory impact assesment) yang mendalam mengingat dampaknya yang bisa melebar. Tak hanya pengurangan konsumsi masyarakat, pengenaan cukai ini juga akan berdampak ke masalah produksi bahkan bisa menjadi disinsentif bagi investasi.
"Tentunya kalau konsumsi turun, produksi turun, ujung-ujungnya investor juga enggan investasi. Kami harap pemerintah pikir ulang lagi dan jangan sampai merusak tren permintaan industri makanan dan minuman yang sedang bagus. Jangan sampai investasi yang melemah di tahun ini makin tambah buruk," ujar Adhi di lokasi yang sama.
Sebagai informasi, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan adanya penurunan investasi sektor makanan dan minuman sebesar 19,85 persen dari angka Rp 40,69 triliun pada periode Januari hingga September tahun lalu ke Rp 32,61 triliun di periode yang sama tahun ini.
Sedangkan pemerintah menargetkan penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 186,52 triliun di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, dimana sebanyak Rp 146,4 triliun, atau 78,49 persen disumbang oleh penerimaan cukai.
(gen)