Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) mengaku kecewa dengan kebijakan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang sempat melarang operasi transportasi berbasis aplikasi internet seperti Uber Taksi, Gojek, dan sejenisnya. Kebijakan tersebut dinilai hanya akan menghambat masuknya investasi ke Indonesia.
“Kami kecewa berat dan mengecam kebijakan Menteri Jonan. Kalau dia tidak pro dunia usaha dan rakyat banyak, lebih baik dicopot saja. Padahal selama ini kami sangat mengapresiasi kinerja beliau. Tapi kami kecewa dan marah. Beliau tidak peka dengan kesulitan masyarakat kecil,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (18/12).
Bahlil menduga kebijakan Jonan merupakan pesanan dari kelompok usaha angkutan tertentu yang merasa bisnisnya terganggu dengan kehadiran Gojek dan sejenisnya. Untuk itu Bahlil meminta agar Jonan berkonsentrasi membenahi carut-marut transportasi umum dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab ia menilai munculnya layanan transportasi berbasis aplikasi lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.
“Pertama yang Menteri Jonan harus catat, bahwa usaha berbasis layanan aplikasi ini telah mendorong semangat kewirausahaan dimana-mana. Anda bayangkan, startup ini sudah mampu menyerap investasi ke dalam negeri lebih dari Rp 20 triliun dalam beberapa tahun terakhir. Kenapa tiba-tiba mau diberangus?,” ujar Bahlil.
Hambat InvestasiMenurut Bahlil, bisnis berbasis digital sedang tumbuh subur di Indonesia. Kondisi ini mendorong investor berbondong-bondong menanamkan modalnya ke dalam negeri. Hipmi mencatat selama 2014, sebanyak 36 startup berhasil menggaet pendanaan investor dengan nilai di atas Rp 10 triliun. Memasuki 2015, minat investor global terus membuncah.
“Nilai investasi per proyek bahkan mengalahkan investasi di satu unit pembangkit listrik,” ucap Bahlil.
Dikatakannya, semangat Menhub Jonan berlawanan dengan upaya mendorong masuknya aliran investasi ke dalam negeri seperti yang digaungkan pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, ditengah sulitnya aliran investasi masuk ke dalam negeri, industri berbasis aplikasi ini justru membawa angin segar bagi masa depan investasi di Indonesia.
Selain menggerakan investasi dan kewirausahaan, Hipmi juga menilai bisnis Gojek dan perusahaan transportasi berbasis aplikasi mampu menciptakan lapangan kerja dan mampu memberi jawaban atas tingginya angka pengangguran.
”Contohnya ya Gojek ini. Karyawan-karyawan yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) gara-gara perlambatan ekonomi kemarin, justru diserap. Memang Pak Jonan mau kemanakan para pengangguran ini dan anak istrinya, sementara Gojek dkk justru kasih solusi,” ujar Bahlil.
Hipmi
Research Center mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari Januari hingga Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran bertambah 320 ribu dibanding dengan tahun sebelumnya sebanyak 7,24 juta orang pada Agustus 2014.
Sementara itu, pengamat transportasi Darmaningtyas menilai Menhub Jonan hanya menjalankan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) saja pada saat mengeluarkan aturan mengenai pelarangan operasional angkutan berbasis aplikasi yang tidak memiliki izin sebagai pengelola angkutan umum.
"Jadi tidak ada yang salah dengan pelarangan tersebut dilihat dari tugas pokok, dan wewenang Kementrian Perhubungan," kata Dharmaningtyas.
Menurut Dharmaningtyas, ada dua substansi pelarangan yang harus dibedakan. Pertama, pada ojek yang menggunakan aplikasi (Gojek, GrabBike, Blu-Jek, Lady-Jek, dll) pelarangan lebih menyangkut soal moda yang dipakai (sepeda motor) yang memang bukan kendaraan untuk angkutan umum, dan soal pengelolanya yang merupakan badan usaha transportasi.
Sedangkan pada Uber Taxi dan Grab Taxi pelarangan lebih terkait dengan izin usahanya yang bukan izin usaha angkutan umum, tapi penggunaan aplikasi. Melihat substansi pelarangannya yang mengacu pada regulasi yang ada, maka langkah Menteri Jonan untuk melarang moda-moda tersebut sudah betul, karena Kemenhub dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya tetap terikat pada UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.
Menhub Jonan sendiri siang tadi telah menunjukkan sikap melunak terhadap operasional ojek berbasis
online. Pasalnya, dia menyadari transportasi publik saat ini belum mampu melayani sepenuhnya kebutuhan masyarakat.
"Solusinya bagaimana? Kalau ini mau dianggap solusi sementara ya silakan, sampai transportasi publiknya bisa baik," tutur Jonan di kantornya.
(gen)