Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat melihat ada benang merah antara masalah pengupahan dan kemunduran industri manufaktur dengan perlambatan ekonomi di China.
Dia menjadikan industri garmen dan pakaian jadi yang sulit berkembang di China sebagai studi kasus. Penyebab utamanya disinyalir akibat upah buruh di Negeri Tirai Bambu yang semakin mahal.
"Industri pakaian jadi di China sudah tidak mungkin bisa meningkat karena tingkat pengupahan sudah hampir US$700 per bulan," jelasnya kepada CNN Indonesia, Selasa (19/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, lanjut Ade, banyak pelaku industri tekstil hijrah dari China ke negara-negara padat penduduk yang tingkat upah buruhnya masih terjangkau. Indonesia dan Vietnam antara lain yang saat ini menjadi alternatif persinggahan modal.
"Ini bisa jadi bermakna positif bagi yang pro pasar bebas karena memicu produktifitas dan kompetitifnes. Sebaliknya bisa jadi negatif bagi yang kontra karena menganggap dapat mengancam kelangsungan industri lokal," tuturnya.
Dia mengatakan, sudah ada beberapa calon investor asing yang sudah menyatakan minatnya untuk menanamkan modal di Indonesia. Pelaku tekstil dari Taiwan dan Thailand antara lain yang sudah menyatakan minat investasinya.
Ade Sudrajat menilai dampak dari perlambatan ekonomi China sudah terasa sejak akhir 2014. Awalnya, aktivitas ekonomi yang menurun di Negeri Panda berimbas pada anjloknya permintaan komoditas utama dunia, seperti batubara, perak, kelapa sawit, karet dan lain-lain.
Biasanya, terang Ade, ekonomi China rata-rata tumbuh digit ganda dalam beberapa tahun terakhir. Namun tahun lalu koreksi tajam terjadi setelah hanya tumbuh 6,9 persen.
"Pertumbuhan 6,9 persen buat Indonesia mungkin sebuah prestasi, tetapi bagi China dengan 3 miliar penduduknyta itu bukan suatu yang fantastis," katanya.
Berkurangnya permintaan komoditas secara signifikan dari China, lanjut Ade, otomatis memukul industri pertambangan dan agrobisnis yang selama ini bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, pendapatan menurun dan mengurangi kemampuan beli sehingga berdampak pula pada industri tekstil.
Persaingan PasarAde mengatakan, untung saja selama ini industri garmen dan tekstil Indonesia lebih banyak menghasilkan produk kelas atas untuk dipasok ke Amerika Serikat dan Eropa. Kendati demikian, ada tantangan untuk bisa meningkatkan perdagangan ke kedua pasar negara maju itu.
"Kita kalah dari Vietnam karena merkea sudah ada
free trade agreement (FTA) dengan Eropa sehingga bebas bea masuk. Sedangkan kita masih penjajakan dan masih kena be amasuk 10-30 persen," katanya.
Vietnam, kata Ade, baru memulai industri tekstil pada tahun 2000. Namun, dalam kurun waktu 15 tahun ekspor pakaian jadi Vietnam sudah menembus US$26 miliar.
"Indonesia sebaliknya, meski sudah sejak 1980 memulainya sampai saat ini baru US$12,5 miliar," tuturnya.
Melihat perkembangan ini, Ade Sudrajat masih pesimistis industri tekstil nasional bisa tumbuh tinggi pada tahun ini. Apabila Vietnam bisa tumbuh sekitar 10 persen per tahun, Ade memperkirakan industri tekstil nasional kemungkinan hanya akan tumbuh sekitar 2-3 persen pada tahun ini.
(ags/gen)