Produsen Minyak Goreng Minta Pembebasan PPN 3 Tahun

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 17 Feb 2016 07:10 WIB
Tuntutan produsen minyak goreng ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penjualan minyak goreng dalam kemasan mulai 1 April 2017.
Pekerja mengemas minyak goreng di Pabrik Industri Hilir Kelapa Sawit, Marunda Center International Warehouse & Industrial Estate, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (26/2). (Antara Foto/Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta insentif fiskal dari pemerintah khusus untuk produk minyak goreng dalam kemasan sederhana. Insentif yang diminta  berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selama tiga tahun.

“Kita imbau pada pemerintah untuk tiga tahun (pertama) diberikan dulu PPN nol (persen) untuk minyak goreng kemasan (sederhana),” tutur Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga saat ditemui di Gedung Multivision Tower, Jakarta, Selasa (16/2).

Pemberian insentif itu, lanjut Sahat, akan menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam menjamin penjualan minyak goreng yang higienis di masyarakat. Selain itu, konsumen juga tidak akan terbebani oleh harga jual minyak goreng yang lebih tinggi di pasaran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sahat mengungkapkan rata-rata biaya pengemasan minyak goreng sekitar 12 persen dari biaya produksi minyak goreng curah. Dengan dihapuskan PPN pada minyak goreng kemasan sederhana, harga minyak goreng kemasan dengan minyak goreng curah tidak akan berbeda jauh.

Sebagai ilustrasi, jika harga minyak goreng curah di pasaran Rp1.000 per liter maka harga minyak goreng kemasan Rp1.120 per liter. Dengan adanya PPN 10 persen, harga jual minyak goreng curah menjadi Rp1.100 per liter dan harga jual minyak goreng kemasan Rp1.232 per liter.

“Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum memberikan jawaban terhadap (usulan) ini,” ujarnya.

Selain itu, Sahat juga meminta dukungan pemerintah daerah (pemda) dalam menyediakan unit pengemasan minyak goreng di masing-masing daerah. Menurut Sahat, setiap kabupaten di Indonesia idealnya memiliki lima hingga enam packing line minyak goreng.

Selain bisa membuka lapangan kerja, lanjutnya, adanya unit pengemasan di daerah juga akan menurunkan ongkos logistik. Pasalnya, produsen minyak goreng yang sebagian besar masih berada di Pulau Jawa bisa mengirim minyak goreng dalam bentuk curah. Dia menambahkan, biaya logistik minyak curah lebih rendah dibandingkan mengirim minyak goreng langsung dalam bentuk kemasan ke daerah.

“Minyak goreng wajib kemasan tidak mungkin bisa terwujud kalau di daerah tidak  terlibat. dalam arti kata, pengemasan-pengemasan itu ada di daerah,” ujarnya.

Sahat memperkirakan total produksi minyak goreng curah tahun 2016 mencapai 4,25 juta ton atau naik tipis dari tahun lalu, 4,17 juta ton. Guna mengemas minyak curah tersebut diperlukan investasi sekitar Rp 3,28 triliun.

Investasi itu, tambahnya, untuk memasang sekitar 3 ribu unit mesin pengemas (packing line). Saat ini, terdapat sekitar 180 packing line di industri yang mampu mengemas sekitar 300 ribu ton minyak goreng per tahun dalam kemasan sederhana (pillow type).

Sebagai informasi, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 9/M-Dag/PER/2/2016 tentang Perubahan Kedua Permendag Nomor 80/M-Dag/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan, pemerintah melarang penjualan minyak goreng curah dan mewajibkan penggunaan kemasan sederhana bermerek ‘Minyakkita’ pada minyak goreng sawit mulai 1 April 2017.

Sementara, kewajiban penggunaan kemasan pada minyak goreng berbahan baku nabati lainnya mulai 1 Januari 2018. Khusus untuk produsen skala usaha kecil menengah/ rumah tangga yang memperdagangkan minyak goreng berbahan baku nabati lainnya, penggunaan kemasan harus dipenuhi pada 1 Januari 2019. (ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER