Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan kebutuhan investasi untuk mengalirkan listrik ke 10.300 desa dalam Program Indonesia Terang mencapai kisaran Rp30 – Rp40 triliun hingga 2019. Tingginya investasi itu disebabkan oleh sulitnya kondisi geografis dan masih terpencilnya lokasi desa.
Kepala Unit Percepatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM, William P. Sahbandar mengungkapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu berkontribusi sekitar Rp16 triliun atau 40 persen dari total kebutuhan program tersebut. Untuk itu, pemerintah harus mencari sumber pendanaan eksternal, antara lain dari investor swasta.
Sekitar Rp12 triliun dari kapasitas APBN tersebut, lanjut William, sudah dijatahkan kepada PT PLN (Persero) melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN). Kendati demikian, PLN akan lebih banyak fokus mengalirkan listrik ke daerah yang letaknya dekat dengan desa yang telah teraliri listrik melalui ekstensi jaringan. Padahal, masih ada daerah yang letaknya jauh dari jaringan PLN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, desa-desa itu rencananya akan dialiri listrik memanfaatkan potensi EBT lokal.
“Di sinilah peran investasi swasta diperlukan,” ujarnya Willy saat di temui di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Minggu, (28/2).
Peran investor, lanjutnya, nantinya tidak hanya memberikan suntikan dana dan membangun pembangkit listrik EBT. Namun, investor juga bertanggung jawab dalam mengoperasikan dan memelihara.
“Tapi di sana PLN juga akan akan hadir dalam bentuk yang sedang kita siapkan,” ujarnya.
Selain itu, William mengatakan, pemerintah juga akan menggunakan dana donor dari berbagai lembaga internasional. Dana donor yang terkumpul akan digunakan pemerintah untuk membantu dalam proses studi kelayakan (feasibility study/ FS) maupun pre-FS hingga memberikan Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund/VGF).
Dana VGF, lanjut Willy, dibutuhkan agar investasi EBT di kawasan terpencil semakin menarik bagi investor. Suntikan VGF akan meningkatkan internal rate of return (IRR) investasi EBT yang saat ini masih rendah.
Willy mencontohkan, kebutuhan investasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Sumba, NTT, dengan kapasitas 750 kiloWatt (kw) yang mencapai Rp15 miliar. Padahal, proyek tersebut akan layak secara keekonomian bagi investor jika investasi yang dikeluarkan hanya Rp10 miliar.
Dengan demikian, iua menambahkan, pemerintah menyuntik VGF hingga Rp5miliar agar IRR investasi itu bisa naik dari 10 persen menjadi 13 hingga 14 persen.
Pemerintah, lanjut Willy, juga menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengajak lembaga keuangan non bank mau membiayai proyek EBT. Melalui OJK, perusahaan pembiayaan diberikan pemahaman bahwa investasi EBT bisa layak secara keekonomian.
“Peran OJK kemarin untuk mendorong keuangan berkelanjutan. Sekarang mereka (OJK) telah membentuk working group (kelompok kerja) EBT,” kata Willy.
Lebih lanjut, Willy berharap semakin banyak pembangkit listrik EBT yang dibangun maka akan menekan harga EBT menjadi lebih murah dan bisa bersaing dengan harga listrik energi konvensional yang menggunakan energi fosil.
“Kalau di Jawa perbedaan harga listrik EBT dengan konvensional jauh banget. Di sini (listrik konvensional) bisa sampai 6-7 sen (per kWh). Sementara, kalau kita lihat harga listrik PLTB itu 12 sen (per kWh). Itulah kenapa kita harus percepat untuk meningkatkan jumlah listrik EBT,” ujarnya.
(ags)