Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) berhasil melakukan penghematan sebanyak US$255,25 juta setara Rp3,36 triliun dari pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) sepanjang tahun lalu.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina menjelaskan jaringan distribusi BBM di seluruh wilayah Indonesia termasuk yang paling rumit di dunia. Wianda menyebut beragam upaya dilakukan Pertamina dalam mendistribusikan energi ke pelosok negeri.
Hal ini dilakukan melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas sarana sekaligus fasilitas, mulai dari darat, laut hingga udara. “Nilai penghematan distribusi BBM dari peningkatan tata kelola arus minyak per Desember mencapai US$255,25 juta,” kata Wianda, Selasa (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mendistribusikan BBM produksinya sehingga bisa dinikmati seluruh penduduk Indonesia, Pertamina memperkuat infrastruktur hilir dengan 273 unit kapal tanker, delapan unit kilang, dan 111 unit terminal BBM.
“Pertamina juga memiliki 6.865 unit stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan 64 unit Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU),” ujarnya.
Ketua Alumni Akademi Minyak dan Gas Ibrahim Hasyim mengatakan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah mengamanatkan BBM harus tersedia di seluruh pelosok Indonesia. Hal itu yang membuat mata rantai distribusi BBM sangat panjang dan bertingkat.
“Transportasi laut tentu sangat rumit membawa ke pulau-pulau kecil dengan alur pelayaran yang dangkal. Begitu juga di darat yang lokasinya sangat tersebar dengan infrastruktur jalan dan jembatan yang sangat terbatas untuk mencapainya. Kondisi itu menuntut saluran distribusi yang bertingkat, terminal dan kapal yang besar sampai kecil. Kondisi ini hanya terjadi di sebuah negara kepulauan,” kata Ibrahim.
Oleh karena itu, ia menilai jika dilakukan perbandingan komponen harga BBM di Indonesia dengan negara lain sangatlah berbeda. Karena ada pertimbangan ekonomi, sosial politik, dan lingkungan hidup yang diperhitungkan di Indonesia.
“Di Amerika Serikat saja, harga BBM antarnegara bagian saja bisa berbeda. Akan tetapi penentu utama tentulah harga minyak mentah,” kata Ibrahim.
Menurutnya, harga BBM berkorelasi dengan biaya produksi dan transportasi. Jika penurunan harga BBM tidak signifikan tentu dampak terhadap biaya produksi dan transportasi pun menjadi kecil, kecuali jika peran biaya BBM dalam struktur biaya totalnya tinggi.
Peran pemerintah untuk mengaudit biaya itu perlu agar dapat diketahui berapa besarnya pengaruh penurunan harga BBM terhadap terhadap total biaya. “Kalau formula itu ada, pemerintah akan ada pegangan untuk mengawasinya,” tegas Ibrahim.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean mengatakan pemerintah harus mengevaluasi harga jual BBM untuk periode April-Juni 2016 mengacu pada rata rata MOPS Januari-Maret 2016. Pasalnya pada periode tersebut harga minyak jatuh pada titik terendah kurun waktu belasan tahun terakhir.
“Artinya jika mengacu pada harga minyak tersebut, harga jual BBM akan turun pada kisaran yang sangat murah bahkan lebih murah dari seliter air mineral,” kata dia.
Menurut Ferdinand, harga jual BBM murah tersebut juga belum tentu mampu menggerakkan turunnya harga bahan bahan pokok karena pemerintah tidak punya instrumen yang memaksa harga batang turun ketika harga BBM turun.
Sementara ketika nanti harga BBM kembali naik, tambah Ferdinand, harga barang naik secara otomatis. Artinya, penurunan harga BBM menjadi sia-sia karena tidak dinikmati oleh rakyat akan tetapi dinikmati pemilik kendaraan yang kelas sosial ekonominya menengah ke atas.
“Selain itu juga bahwa harga BBM murah akan menghambat pengembangan energi batu terbarukan,” tandasnya.
(gen)