Jakarta, CNN Indonesia -- Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mencatat saat ini sekitar 6,5 juta penduduk Indonesia bergantung hidup pada industri pengolahan hasil tembakau atau rokok. Jumlahnya kian menyusut menyusul maraknya gerakan anti-tembakau dan masifnya upaya pembatasan konsumsi rokok oleh pemerintah.
Ketua Umum AMTI Budidoyo menuturkan saat ini masih ada sekitar 2 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh di seluruh Indonesia yang selama ini menjadi pemasok utama bahan baku ke pabrik-pabrik rokok. Maraknya kampanye negatif terhadap konsumsi rokok membuat mayoritas dari petani tersebut ketar-ketir terhadap masa depan usahanya.
"Selain itu ada sekitar 600 ribu pekerja pabrik rokok yang juga khawatir terhadap gerakan anti-rokok. Total itu ada sekitar 6,5 juta orang yang bergantung hidup pada industri tembakau khawatir," ujar Budidoyo kepada
CNN Indonesia, Minggu (29/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, Budidoyo kembali mengingatkan pemerintah untuk tidak gegabah dalam mendukung ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, ratifikasi FCTC akan sangat berdampak terhadap produksi dan lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan industri tembakau secara nasional.
"Banyaknya tekanan anti-tembakau dan regulasi yang tidak berpihak pada pelaku industri tembakau telah berimplikasi negatif terhadap produksi petani. Rata-rata penurunan produksinya sekitar 3 persen per tahun," kata Budidoyo.
Menurutnya, usulan ratifikasi FCTC harus ditolak karena sudah bergeser maknanya dari yang awalnya pengendalian menjadi pelarangan total. Sebelumnya, AMTI memperkirakan petani tembakau Indonesia akan menderita kerugian hingga Rp10 triliun bila ratifikasi FCTC dilakukan pemerintah.
"Belum diratifikasi saja, sudah ribuan orang kena PHK (pemutusan Hubungan Kerja) akibat tekanan-tekanan terhadap industri rokok. Terutama di pabrik SKT (Sigaret Kretek Tangan)," ungkapnya.
Sebelumnya, Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) mengingatkan pemerintah akan empat potensi kerugian jika Indonesia mengikuti saran dari negara-negara maju untuk meratifikasi FCTC. Kerugian pertama pelarangan produksi rokok aromatik akan membuat Indonesia kebanjiran rokok putih di tengah kematian rokok kretek asli Indonesia.
Kedua, FCTC juga mengatur pemutusan rantai hubungan suplai tembakau. Aturan ini melarang penanaman hingga perdagangan di seluruh negara yang meratifikasi FCTC.
Ketiga, FCTC mengharuskan negara menggenjot cukai hingga 80 persen agar konsumsi rokok rendah. Keempat, larangan bagi seluruh abdi negara untuk berinteraksi dengan IHT merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
(ags)