SETAHUN PAKET EKONOMI

Paket Kebijakan IV Gagal Berikan Upah Buruh yang Layak

Yuliyanna Fauzi | CNN Indonesia
Jumat, 09 Sep 2016 15:14 WIB
Paket IV dirilis untuk memberikan jaminan sistem pengupahan dan pengamanan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi akibat kelesuan ekonomi.
Paket IV dirilis untuk memberikan jaminan sistem pengupahan dan pengamanan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi akibat kelesuan ekonomi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memastikan paket kebijakan ekonomi jilid IV yang dirilis 15 Oktober 2015 tidak memberikan manfaat bagi para pekerja. Padahal, paket tersebut dirilis untuk memberikan jaminan sistem pengupahan dan pengamanan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi akibat kelesuan ekonomi.

Ketua Umum KPSI Said Iqbal memastikan, paket kebijakan hanya melindungi pengusaha dan menjaga iklim investasi. Namun, perlindungan terhadap pekerja tidak tercapai.

"Paket kebijakan ekonomi itu tidak efektif, kuat di teori tapi lemah diimplementasi dan pengawasan. Upah buruh masih tidak layak, daya beli buruh rendah, dan PHK masih terjadi," ungkap Said saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (9/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Said merinci kegagalan paket kebijakan IV. Pertama, paket kebijakan mendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Namun, penerbitan PP ini justru tidak mampu menciptakan ruang bagi pekerja untuk berdiskusi soal pengupahan. Pasalnya, aturan pengupahan tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa penetapan upah oleh Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi dari dewan pengupahan; pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

"Tapi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 menjadi percuma karena berdasarkan PP 78 Tahun 2015 pada Pasal 44 menyatakan kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. Ini mengartikan tidak ada perundingan sama sekali," jelas Said.

Kedua, paket kebijakan IV membawa pekerja kembali pada rezim upah murah. Pemerintah menjanjikan kepastian kenaikan upah minimum, dengan menggunakan formula angka inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.

Namun, pemerintah tak menyadari bahwa ini tidak bisa mengangkat dan mengejar ketinggalan daya beli buruh akan harga pasar.

"Pemerintah lupa, yang dibutuhkan buruh bukan hanya kepastian dari pengusaha tapi kepastian seberapa besar upah dapat meningkatkan daya beli," katanya.

Bayaran Murah

Terkait inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dipatok meningkat, menurut Said, perhitungan tersebut memang digunakan negara lain. Namun, basis upah di Indonesia terlampau rendah sehingga seperti apapun penambahan upah yang dihitung menurut inflasi dan pertumbuhan ekonomi tak mampu menakar upah menjadi layak.

"Basis upah kita tidak layak, bahkan terlalu murah. Saya bisa bilang murah karena ada pembandingnya, yakni negara-negara di Asean," katanya.

Said mencatat, berdasarkan Data International Labour Organization 2014/2015, rata-rata upah di Indonesia sebesar US$174 per orang per bulan. Angka ini tertinggal dari Vietnam US$181 per orang per bulan, Filipina US$206 per orang per bulan, Thailand US$357 per orang per bulan, dan Malaysia US$506 per orang per bulan.

Memang, upah Indonesia masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kamboja US$119 per orang per bulan dan Laos US$121 per orang per bulan.

"Jadi kalau basisnya murah kemudian dipakai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, naiknya pasti murah, ketinggalan terus, bahkan bisa disusul oleh Laos dan Kamboja," tambahnya.

Menurut Said, ini juga menandakan bahwa pemerintah masih terlalu ketat mengendalikan upah buruh, seperti yang terjadi di negara komunis, yakni China, Kuba, dan Korea Utara.

"Seluruh dunia tidak ada yang mau seperti ini, upah dikendalikan negara," katanya.

Fakta kegagalan lain, masih terjadinya PHK. Padahal paket kebijakan IV ingin melindungi buruh dari PHK. Bahkan pada kuartal I 2016 saja, KSPI mencatat, PHK di Indonesia mencapai 36.280 PHK.

"PHK dimana-mana oleh perusahaan. Berarti ini tidak efektif, tujuan paket itu mengejar pertumbuhan ekonomi, targetnya 5,2 persen itu, tidak akan tercapai," tutupnya. (gen)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER