Jakarta, CNN Indonesia -- Desentralisasi fiskal merupakan salah satu konsekuensi dari otonomi daerah. Hal itu tercermin dari sebagian besar anggaran belanja negara yang setiap tahun mengalir ke seluruh wilayah.
Sayangnya, alokasi anggaran transfer ke daerah yang besar tidak dibarengi dengan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang membaik. Buruknya penyerapan anggaran daerah tercermin dari mengendapnya dana menganggur triliunan rupiah milik sejumlah Pemda di perbankan.
Pemerintah pusat belakangan mulai gerah. Anggaran transfer ke daerah dan dana desa pun dipangkas hampir Rp73 trilun. Selain karena target penerimaan pajak yang tidak tercapai, pemangkasan dilakukan berdasarkan evaluasi penyerapan anggaran daerah yang belum optimal.
Untuk mengetahui lebih jauh dinamika dan serba-serbi pengelolaan fiskal di daerah,
CNNIndonesia.com berkesempatan mewawancarai
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo di ruang kerjanya, Kamis (18/8). Berikut nukilan wawancaranya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa sebenarnya tujuan dari desentralisasi fiskal atau otonomi daerah?Fungsi pemerintah itu ada dua. Pertama adalah, memberikan pelayanan publik. Kedua adalah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tentu di dalam rangka
sosial welfare dan rangkaian pelayanan publik itu ada
intermediate goal. Misalnya, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
poverty alleviation, dan mengatasi kesenjangan antardaerah, antarkelompok masyarakat.
Dalam rangka mencapai dua tujuan tadi, yang paling tahu keinginan, kebutuhan, prioritas daerah adalah yang paling dekat dengan masyarakat daerah. Kalau pemerintah pusat jauh, yang paling tahu tentu pemerintah daerah.
Karena itu, akan lebih optimal jika pelaksanaan pemberian layanan publik itu dilakukan oleh pemerintah daerah. Hanya enam kewenangan mutlak yang dipegang oleh pusat: hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan; fiskal; moneter; agama; pengadilan dan peradilan. Di luar itu, diserahkan ke pemerintah daerah.
[Gambas:Video CNN]Apa saja jenis anggaran yang ditransfer ke daerah?Satu adalah dana perimbangan. Dana perimbangan itu kita kelompokkan menjadi dua, yakni Dana Transfer Umum (DTU) dan Dana Transfer Khusus (DTK).
Dana Transfer Umum (DTU) yaitu dana transfer yang diskresi penggunaannya sepenuhnya ada di daerah, pada pemda. Terdiri dari dua yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU). DBH tujuan dan fungsi utamanya adalah mengatasi ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau
vertical fiscal imbalance. Sedangkan DAU tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan kemampuan antardaerah atau
horizontal fiscal imbalance.Sedangkan Dana Transfer Khusus (DTK) jenisnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan DAK non-fisik. Lalu Dana Otonomi KHusus (Otsus), dan Dana Desa.
Kemudian, mulai tahun 2016 ada satu instrumen baru yang disebut dengan Dana Insentif Daerah (DID)DID itu dulu sudah pernah ada, tetapi dia dikaitkan dengan anggaran untuk pendidikan, bagian dari 20 persen dana pendidikan sehingga penggunaanya hanya untuk bidang pendidikan.
Sekarang beda. Karena itu, kriteria penilainya juga beda, kriteria alokasinya juga beda.
Tahun 2016 kita rubah dana insentif daerah itu menjadi instrumen sendiri, di luar dana perimbangan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong daerah, pemerintah daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi agar berlomba-lomba meningkatkan kinerjanya. Jadi basisnya adalah
performance, kinerja.
Berapa bobot semuanya di APBN? Saat ini total ada 34 provinsi, 508 kabupaten/kota. Jadi totalnya 542
Untuk bobot di APBN sekarang ini total belanja APBN kan sekitar Rp2.070 triliun, sebanyak Rp760 triliun itu di transfer ke daerah. Jadi sekitar 35 persen untuk ke daerah. Itu di luar dana yang dibelanjakan K/L di daerah.
Ini kan terkait dengan pemekaran daerah yang dituding menjadi beban fiskal. Bagaimana penjelasannya? Sampai sekarang masih moratorium pemekaran daerah. Jadi pemekaran itu, tujuan utamanya sebetulnya mendekatkan masyarakat terhadap pelayanan publik dan kemudian memperpendek rentang kendali pemerintahan dengan masyarakat. Supaya
publik service delivery-nya lebih baik,
quantity dan
quality-nya itu akan lebih bagus. Selain itu juga pencapaian terhadap terhadap
social welfare akan lebih cepat. Itu kan idealnya, tujuan awalnya.
Tetapi sejak tahun 2005 sampai sekarang sudah ada 160 tambahan daerah otonom baru yang merupakan pecahan. Sudah saatnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan dari pemekaran tadi. Apakah sudah efektif atau belum apakah sudah berhasil atau tidak.
Yang jelas adalah kalau daerah itu dimekarkan dari daerah yang terbelakang, yang miskin, induknya miskin, induknya terbelakang tentu anaknya juga akan terbelakan. Ini kan dipecah, tetapi karena dia terbelakang pasti tidak akan, recoverynya juga akan susah.
Kalau daerahnya besar, baik SDM maupun Sumber daya alam, potensinya besar, maka dia akan berpotensi berkembang dengan baik. Tapi kan pada kenyataannya tidak begitu.
Hasil evaluasi dari pemekaran daerah bagaimana sejauh ini? Apakah ada daerah yang gagal?Kalau menurut laporan Pak Menteri Dalam Negeri, Pak Tjahjo Kumolo pada sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang dipimpim Pak Wapres pada saat mengenai penetapan moratorium, pemekaran itu banyak yang gagal. Saya persisnya tidak hapal berapanya, Kementerian Dalam Negeri yang paling tahu.
Selain kapasitas fiskal, apa saja yang menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan daerah otonom?Tentu yang pertama ya tadi pelayanan publiknya bagaimana. Kemudian perekonomian daerahnya berkembang atau tidak. PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya seperti apa. Kemudian layanan kepada masyarakat seperti apa. Kehidupan demokrasinya seperti apa. Jadi banyak hal indikatornya yang sebetulnya sudah diatur di dalam PP dan UU tentang Pemekaran.
Implikasi paling nyata dari pemekaran daerah apa?Pertama yang pasti DAU itu akan turun. Sekarang 542 daerah, DAU-nya pasti akan turun. Walaupun dia tidak memekarkan ya, tetapi terkena imbasnya pasti.
Kedua meningkatnya gaji pegawai. Pasti kan gaji PNSD naik, pasti.
Ketiga itu anggaran instansi vertikal, instansi pusat yang ada di daerah itu pasti naik, paling tidak untuk enam fungsi tadi, yaitu yang untuk Kementerian Keuangan, pasti harus ada Kanwil baru, KPP baru, KPJP baru, kan gitu. Kementerian Agama juga, perlu KUA baru dan lain-lain. Kemudian Pengadilan, Kepolisian, kemudian Kementerian Pertahanan, komando distrik itu pasti nambah.
Jadi gajinya naik, DAU-nya pasti turun, bayangin itu instansi vertikalnya naik, kemudian daerah tertniggalnya pasti akan naik. Pastilah itu. Dan potensi konflik akan naik. Itu tidak bisa dihindari.
Menurut laporan kemarin, pada sidang DPOD, Pak Menteri Dalam Negeri dan Pak Wakil Presiden selaku ketua DPOD menyatakan, sekarang sudah lebih dari 2000 daerah atau calon daerah yang meminta menjadi daerah otonom baru yang mengajukan pemekaran. Kalau terjadi semua disetujui, pasti DAU habis.
Karena itu kemarin diputuskan tetap dimoratorium sampai nanti akhir pemerintahan ini dan waktunya akan diputuskan pada pemerintahan mendatang.
Anggaran tiap tahun naik, tetapi efektivitasnya masih rendah. Bagaiman Anda menjelaskan?Pertama memang, sejalan dengan naiknya anggaran transfer ke daerah, itu APBD-nya naik. Sekarang ini APBD Pemda itu sudah mencapai Rp1.034 triliun, konsolidasi kabupaten kota dan provinsi, naik dari tahun 2015 itu Rp894 triliun. Antara lain karena ada dana desa. Dana desa itu tapi kan kecil ya. Dari tahun 2015 itu kan hanya sekitar Rp20 triliun, kemudian naik menjadi Rp47 triliun.
Tapi transfer anggarannya secara total memang naik kan. Kalau tahun lalu, tahun 2015 itu Rp664 triliun saat ini jadi Rp894 triliun. Artinya yang tersisa sekitar Rp200 triliun ya dari PAD. Kan masih kecil dia, dia masih sekitar 25 persen PAD-nya. Kemudian, tahun ini, tahun 2016, jadi Rp776 triliun.
Memang kemudian, perlu dilakukan evaluasi setiap rupiah dari dana yang ditransfer tadi itu menjadi apa sih? Gitu kan.
So far itu kalau dari sisi penyerapan masih menyisakan catatan. kalau tidak boleh dibilang menyisakan persoalan. Belum lagi kalau dievaluasi dari aspek tujuannya,
public service delivery dan social welfare. Nah kita akan lakukan kerjasama dengan universitas di daerah-daerah untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari
outcome rather than output-nya. Jadi lebih banyak outcomenya, seperti apa sih dampaknya terhadap pelayanan publik.
Apa saja masalah klasik pengelolaan APBD?Pertama kalau kita lihat, daya serapnya itu memang belum optimal, belanja APBD-nya. Ada banyak hal kenapa daya serap anggaran itu masih belum optimal.
Pertama, penetapan APBD-nya terlambat. Karena kalau APBD itu kan dokumen otorisasi anggaran. Tidak bisa dieksekusi kalau APBD-nya belum ditetapkan.
Kedua, adanya keterlambatan dalam pelaksanaan tender atau lelang. Kalau APBD-nya terlambat, tentu pelaksanaan tendernya juga akan terlambat,.
Ketiga, adanya kekhawatiran dari aparat, takut dikriminalisasi terhadap kebijakan. Itu banyak itu. Apalagi kalau pejabatnya baru, bupatinya baru, kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD)-nya baru. Kemudian, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)-nya baru, itu mereka pada umumnya takut dikriminalisasi.
Kenapa takut? Begitu ada kalah tender, lawan tadi mengadukan kepada kepolisian atau kejaksaan atau penegak hukum yang lain. Itu langsung ditindaklanjuti. Karena undang-undangnya menyatakan kalau ada pengaduan harus ditindaklanjuti. Nah, begitu dia masuk, ya takut lah. Ya kalau dia mau dicari kesalahan pasti ada.
Idealnya kalau ada pengaduan dari aparat penegak hukum harusnya itu disampaikan ke Inspektorat kabupaten atau provinsi. Dialah yang kemudian menindaklanjuti. Ada ngga penyimpangan? Diluruskan dulu jangan langsung diproses. Tapi kan kita, kadang-kadang orang itu sudah diperiksa oleh aparat itu kan sudah ketakutan sendiri.
Kemudian, yang keempat, adanya pola mutasi. Pejabat yang mengelola keuangan daerah itu seringkali (dimutasi). Dia PPK di satu dinas, sudah
expert di situ, sudah menguasai. Tiba-tiba dimutasi ke tempat lain. Baru lagi. Di situ kehilangan, adaptasi lagi.
Jadi itu semua yang membuat kenapa penyerapan anggaran itu nggak optimal.
Apa punishment bagi daerah yang kinerja fiskalnya buruk?Punishment itu ada beberapa bentuk. Pertama, mengganti atau mengkonversi penyaluran DAU dan DBH dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Itu terhadap daerah-daerah yang penyerapan APBD-nya lemah, rendah. Atau posisi saldo simpanan pemda di bank itu tidak wajar atau berlebihan.
Yang dimaksud tidak wajar atau berlebihan adalah melampaui tiga bulan kebutuhan belanja operasional dan modal. Jadi kalau melampaui tiga bulan ya udah berarti langsung saja kita kasih obligasi.
Tahun ini kita lakukan untuk dua kali. Tahap satu, untuk penyaluran DAU pada bulan April (yang diganti obligasi) itu Rp359 miliar. Itu terkena pada enam daerah, tiga provinsi dan tiga kabupaten/kota. Tiga provinsi itu: Riau, Jawa Barat, Banten. Tiga kabupaten: Kutai Kertanegara, Berau, dan Tanah Laut.
Nah, tahap kedua itu dilakukan pada bulan Juli untuk penyaluran dana bulan Juli, awal Juli. Turun menjadi tiga daerah, dua provinsi dan satu kabupaten. Semuanya masih yang lama: Riau Jawa Barat, dan Kab. Berau. Itu adalah bentuk punishmentnya.
(ags)