Jakarta, CNN Indonesia -- Pemegang waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC) di dalam negeri, PT Fast Food Indonesia Tbk mengincar penjualan senilai Rp5,4 triliun pada tahun depan, naik sekitar 8,8 persen dari proyeksi penjualan akhir 2016 sebesar Rp4,96 triliun.
Berdasarkan materi paparan publik yang dirilis di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada Kamis (22/12), Fast Food menargetkan ekspansi pembukaan 30 cabang baru, yang sebagian besar tipe
free standing, dan 20 gerai KFC Box (
scaled down model).
Hingga Oktober 2016, Fast Food telah memiliki 559 gerai KFC yang tersebar di Indonesia. Gerai terbanyak berada di Jabodetabek yang mencapai 195 unit; diikuti Jawa sebanyak 140 gerai; Sumatera sebanyak 108 unit, Sulawesi sebanyak 42 unit; Kalimantan sebanyak 35 unit; Bali, NTB dan NTT sebanyak 26 unit; Papua sebanyak 7 gerai; serta Maluku 6 gerai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi kinerja keuangan, per Oktober 2016, Fast Food telah membukukan penjualan hingga Rp3,99 triliun, naik 0,9 persen dari capaian di periode yang sama 2015 sebesar Rp3,65 triliun. Dari hasil penjualan itu, perusahaan meraup laba bersih Rp156,9 miliar hingga Oktober 2016.
Manajemen menyatakan, terdapat beberapa faktor positif yang mendukung kinerja. Pertama, harga rata-rata ayam di tahun 2016 yang relatif di bawah harga rata-rata di tahun 2015, dibantu dengan pengadaan lebih banyak pada saat harga murah di pasaran.
“Perusahaan selalu meningkatkan efisiensi ayam di restoran KFC dengan mengurangi ayam sisa dan memanfaatkan harga ayam di pasaran pada saat harga turun dengan cara meningkatkan persediaan inventori 2-3 bulan menjelang liburan,” ungkap manajemen.
Selain itu, manajemen mengaku terus melakukan inovasi dalam menyediakan menu-menu yang digemari oleh konsumen dan selalu memberikan harga yang terjangkau dengan nilai tambah bagi konsumen.
Perusahaan juga menyatakan terus melakukan penetrasi ke daerah tingkat II yang berpotensi, tanpa mengabaikan lokasi-lokasi yang berpotensi di kota-kota utama yang dilanda persaingan ketat, untuk memperluas jaringan restoran.
Di sisi lain, faktor negatif yang mendera kinerja adalah kenaikan upah minimum nasional yang berdampak pada hasil operasional restoran, sehingga perseroan membatasi penerimaan karyawan baru.
“Kenaikan harga beberapa bahan baku dan biaya material handling sebagai akibat dari kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM juga termasuk faktor negatif,” imbuh manajemen.
Tak hanya itu saja, kompetisi yang semakin ketat dengan bertumbuhnya kuliner-kuliner lokal yang populer di kalangan konsumen juga dinilai perusahaan menghambat laju kinerja.
Hal itu ditambah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah mempengaruhi kenaikan harga bahan baku yang berdampak pada kenaikan harga pokok. Apalagi, terdapat kenaikan sewa dan
service charge sebagai akibat dari biaya operasional yang meningkat.
(gir/gen)