Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai pemerintah tidak konsisten dengan rilisnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Ia menyatakan, pengusaha tambang membutuhkan kepastian hukum dalam menjalankan bisnisnya. Dengan kembali direvisinya aturan ekspor mineral mentah yang sebelumnya dilarang pada 2014, pengusaha dibuat mengubah lagi rencana kerja yang sudah disusun.
"Misalnya saya pengusaha nikel atau pengusaha bauksit, saya investasi segala macam tiba-tiba dilarang ekspor, misalnya dilarang ekspor, sudah oke nih. Lalu, menerima nih dilarang ekspor, saya bangun
smelter, eh sudah bangun
smelter malah dibolehkan ekspor lagi kan kacau itu," ungkap Faisal, Senin (23/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faisal mengingatkan, pelaku usaha bisa saja pergi dari Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum untuk menjalankan usahanya. Meski memang, aturan ini menguntungkan bagi perusahaan yang belum memiliki
smelter sehingga dapat melakukan ekspor mineral mentah.
Misalnya saja, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Sekretaris Perusahaan Antam Trenggono Sulistio menuturkan, aturan ini akan membuat stok yang ada di gudang bisa dikeluarkan dan menambah pendapatan perusahaan. Maklum, perusahaan ini masih dalam proses membangun
smelter.
"Stok kan numpuk di gudang, nah dengan adanya aturan ini sekarang bisa kami manfaatkan stok itu. Ini bisa meningkatkan pendapatan Antam yang nantinya bermuara dan membantu pendanaan pada proyek hilirisasi kami,” ungkap Trenggono, beberapa waktu lalu.
Namun, manajemen masih menghitung berapa keuntungan yang dapat diraih dari ekspor bijih nikel tersebut. Selain itu, Antam juga masih mengkaji beberapa negara tujuan ekspornya saat ini. Namun sebelum aturan ini dilarang, Antam sempat melakukan ekspor ke China, Jepang, dan Eropa.
“Kami masih kaji, masih berhitung. Kan aturan baru keluar ya. Kami juga kaji negara tujuan nanti untuk memahami betul bentuk pemasarannya,” jelas Trenggono.
Vale MeranaNamun, Presiden Direktur Vale Indonesia Nico Kanter menyebut, harga nikel sontak turun merespons kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini. Maka, turunnya harga nikel tentu menjadi mimpi buruk bagi Vale Indonesia. Pasanya, emiten ini memiliki ketergantungan atas harga nikel secara global.
“Dibukanya keran ekspor bijih mentah nikel (walaupun terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia,” ungkap Nico.
Penurunan harga nikel ini disebabkan adanya indikasi pasokan nikel global yang akan melimpah setelah izin ekspor ini kembali dibuka setelah ditutup sejak 2014 lalu. Sementara, permintaan terhadap nikel mentah tidak bertambah. Sehingga, terjadi ketimpangan antara penawaran dan permintaan.
“Ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan pada akhirnya berdampak pada penurunan harga nikel yang signifikan,” papar Nico.
Adapun, Faisal mengingatkan agar pemerintah selalu memikirkan aturan yang dikeluarkannya untuk tak memberatkan salah satu pihak atau pilih kasih terhadap pihak tertentu.
"Jadi yang penting adalah konsisten, tidak pilih kasih, dan tidak diskriminasi, jadi kepastian hukum jalan. Orang pun tidak kapok investasi ke Indonesia," tegas Faisal.
(gen)