Aturan Minerba Baru Jokowi Resmi Digoyang di Mahkamah Agung

CNN Indonesia
Kamis, 30 Mar 2017 19:04 WIB
Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan permohonan uji materi atas PP Nomor 1 Tahun 2017 dan dua Peraturan Menteri ESDM lainnya.
Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan permohonan uji materi atas PP Nomor 1 Tahun 2017 dan dua Peraturan Menteri ESDM lainnya. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi resmi mendaftarkan gugatan uji materi atas tiga produk hukum pemerintah, yang mengatur pelaksanaan kegiatan pertambangan dan ekspor mineral dan batu bara (minerba).

Ketiga produk tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 5 Tahun 2017, dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.

Permohonan uji materi atas tiga produk hukum ini dilakukan oleh Tim Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Sipil, hari ini Kamis (30/3) di Mahkamah Agung. Pihak termohon untuk pengajuan PP Nomor 1 Tahun 2017 adalah Presiden Republik Indonesia, sedangkan pihak termohon untuk dua Permen adalah Menteri ESDM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pengajuan gugatan ini merupakan kepedulian masyarakat sipil untuk melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah yang tidak tepat, khususnya terkait dengan kebijakan hilirisasi sektor pertambangan mineral," ujar Tim Kuasa Hukum koalisi, Bisman Bakhtiar melalui siaran pers dikutip Kamis (30/3).

Sementara itu, Juru Bicara Koalisi Ahmad Redi mengatakan, gugatan ini diajukan untuk memastikan bahwa pemerintah dapat mengimplementasikan hukum secara benar. Menurutnya, dengan diperbolehkannya ekspor mineral, artinya pemerintah telah mengangkangi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Aturan Minerba Baru Jokowi Resmi Digoyang di Mahkamah AgungTambang Freeport di Papua. (REUTERS/Stringer).


Secara lebih rinci, terdapat beberapa poin utama yang digugat di dalam beleid tersebut

Pertama, adalah pemberian kelonggaran ekspor dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 170 UU Minerba, di mana fasilitas pemurnian harus sudah dilakukan lima tahun setelah UU Minerba diundangkan, atau pada 2014.

Apalagi, ketentuan ini diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VIII/2014 yang mengatakan bahwa ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan tidak boleh diekspor.

Kedua, adalah mekanisme perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang terkesan mengabaikan sistem yang berlaku. Seharusnya, lanjut Redi, rangkaian perubahan tersebut bermula dari status wilayah cadangan negara, di mana hal itu ditetapkan terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan selanjutnya diubah menjadi wilayah pertambangan khusus (WPK).

Bila telah berubah menjadi IUPK, maka seharusnya pemerintah menawarkannya terlebih dahulu kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditawarkan kepada perusahaan swasta dalam tahapan lelang.

Ketiga, adalah pelonggaran ekspor minerba yang diberikan kepada perusahaan yang telah berstatus IUPK. Padahal, pemerintah seharusnya tak lagi memberi izin ekspor minerba kepada perusahaan tambang yang tak kunjung membangun smelter.

"Kami ingin Menteri ESDM dapat berhukum secara lurus, waras, dan memastikan kepentingan nasional di atas kepentingan korporasi asing, khususnya PT Freeport Indonesia," tambah Redi.

Siap Bertarung

Di sisi lain, pemerintah terlihat santai menanggapi gugatan ini. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan siap menghadapi hal tersebut.

"Silakan saja. Masalah menang atau tidak, lihat nanti. Kami tunggu," ujarnya singkat di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER