Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menilai, pemetaan pola konsumsi bisa menjadi jalan keluar bagi pemerintah untuk mewujudkan stabilisasi harga dan pasokan komoditas pangan di masyarakat, mulai dari tingkat produsen, distributor hingga konsumen.
"Pemetaan industri ini harus dipetakan dengan baik, jumlahnya harus diketahui dengan baik dan harus diamankan," ucap Kepala Perhepi Bayu Krisnamurthi dalam sebuah diskusi di Hotel Sari Pan Pacific, Selasa (23/5).
Menurut Bayu, hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah sebab selama ini, pasokan dan harga komoditas panga di pasar cenderung tak stabil karena hasil produksi petani pangan diserap lebih dulu oleh industri dalam jumlah besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut membuat pasokan komoditas pangan untuk masyarakat umum tergerus porsinya dan berimbas pada ketidakstabilan harga. Bahkan, harga komoditas pangan cenderung melambung tinggi.
Akibatnya, masyarakat pula yang dibebankan dengan harga tinggi tersebut karena mempengaruhi pengeluaran harian.
"Biasanya mereka (industri pangan) pakai
forward trading, sudah bikin kontrak sebelumnya. Lalu, berapa sisa pasokan untuk daging dan cabai untuk pasar?" tutur Bayu.
Oleh karenanya, Bayu menilai, pemerintah perlu memetakan dan memahami pola konsumsi industri pangan untuk selanjutnya dikoordinasikan lebih lanjut agar ketersediaan pasokan komoditas pangan tak selalu jadi alasan terkereknya harga pangan di tingkat masyarakat.
Dengan pemetaan tersebut, pemerintah perlu mengakomodir seluruh pihak yang bersangkutan, mulai dari petani pangan selaku produsen, distributor hingga konsumen baik untuk industri dan masyarakat. Sehingga berapa jumlah kebutuhan industri tetap bisa sinkron dan tak menggerus ketersediaan pasokan untuk masyarakat.
Pasalnya, di sisi lain, masyarakat tak hanya perlu mengkonsumsi pangan olahan industri, namun juga bentuk asli dari pangan, misalnya masyarakat tak hanya perlu mengkonsumsi sosis dan bakso yang merupakan hasil olahan daging sapi yang minim protein. Namun, perlu mengkonsumsi daging sapi dalam bentuk utuh yang lebih kaya akan protein.
Sementara itu, Bayu menepis anggapan bahwa impor pangan menjadi jalan keluar jitu untuk mewujudkan stabilisasi harga dan pasokan pangan. Sebab, impor hanya bersifat sementara dan tak berkelanjutan.
"Impor adalah kebijakan jangka pendek. Impor adalah sesuatu yang harus dilakukan pada saat harus dilakukan tapi mengembangkan peternakan itu lebih jangka panjang, tidak bisa instan," jelasnya.
Pola Konsumsi MasyarakatSelain memetakan pola konsumsi masyarakat, pemerintah dinilai Bayu juga perlu melihat pola konsumsi masyarakat. Namun, hal tersebut bukan berarti mengubah pola konsumsi dari masyarakat itu sendiri.
"Bukan berarti masyarakat harus kurang konsumsi cabai. Dendeng balado tentu tidak jadi balado kalau tidak ada cabainya. Jadi, yang dikendalikan bukan pola seperti itu," kata Bayu.
Pola konsumsi masyarakat yang dimaksud Bayu, yakni pertama, pola konsumsi berdasarkan waktu, misalnya mendekati Hari Raya Idul Fitri atau lebaran, tentu ada kecenderungan peningkatan permintaan akan komoditas pangan. Hal ini yang perlu segera diantisipasi oleh pemerintah.
Kedua, pola konsumsi berdasarkan lokasi. Bayu mengatakan, saat ini sekitar 60 persen konsumsi pangan terpusat di kota besar, dengan sekitar 75 persen daya beli konsumen ada di kota.
"Nilai daya beli kira-kira tahun ini US$800 miliar. Dalam 10 tahun yang akan datang bisa 71 persen penduduk ada di kota, 85 persen daya beli di kota, nilainya US$1,8 triliun," imbuh Bayu.
Hal ini tentu perlu pula untuk diantisipasi oleh pemerintah melalui penjaminan ketersediaan pasokan di perkotaan dengan pemetaannya.