Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai, opini BPK dipengaruhi relasi baru antara lembaga tersebut dengan pemerintah pusat, baik dari sisi politik maupun kelembagaan. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 terkesan dipaksakan. Pasalnya, masih banyak catatan yang diberikan oleh BPK, terutama terkait dengan pengelolaan pajak, hutang, kerja sama dengan pihak ketiga, dan pemebelanjaan uang negara. Deputi Sekjen FITRA Apung Widadi menilai, opini BPK dipengaruhi relasi baru antara lembaga tersebut dengan pemerintah pusat, baik dari sisi politik maupun kelembagaan. Padahal, menurut Apung, BPK sebelumnya selalu dinilai indipenden ketika memberikan kesimpulan terhadap hasil audit kepada pemerintah. "Sehingga yang biasanya Wajar Dengan Pengecualian (WDP), tetapi kemudian sekarang WTP. Padahal materinya sebenarnya adalah materi WDP," ujar Apung di Kantor FITRA, Jakarta Selatan, Rabu (24/5). Perubahan itu, kata Apung, mulai terlihat sejak adanya pergantian ketua BPK dari Harry Azhar Azis menjadi Moharmahadi Soerja Djanegara. "Pasca kemarin pemilihan dan pergantian ketua BPK, ternyata ini juga merubah pendapat BPK terkait dengan situasi hasil laporan keuangan," ucapnya. Apung menilai opini WTP tidak menjamin pemerintahan bersih dalam tata kelola anggaran. Pasalnya, terdapat enam lembaga negara (Komnas HAM, TVRI, Bakamla, Ekonomi Kreatif, Kemenpora, KKP) yang memperoleh status disclaimer atau tidak layak diaudit karena bermasalah. "TVRI ini ada kasus korupsi yang sampai sekarang belum terselesaikan, defisit terus menerus makanya sekarang disclaimer. Kemenpora juga dua kali disclaimer karena ada beberapa kasus korupsi hambalang, wisma atlet, aset Roy Suryo yang juga belum dikembalikan. Ini juga problem," terangnya.
Sementara itu, Sekjen FITRA Yenny Sucipto mengatakan, pemerintah pusat harus segera melakukan monitoring dan evaluasi lebih lanjut terkait dengan hasil audit dari BPK. Terutama untuk kementrian dan lembaga yang memperoleh disclaimer. Tidak hanya pemerintah pusat, DPR menurut dia, juga bertanggung jawab atas hasil audit tersebut. "DPR harus memaksimalkan fungsi kontrol, segera melakukan tindak lanjut dari hasil BPK, terutama temuan kementrian dan lembaga yang disclaimer. Karena yang paling penting adalah tindak lanjut itu," kata Yenny.
Sebelumnya, Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan opini WTP tersebut merupakan yang pertama kali diperoleh Pemerintah Pusat dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. "Dengan demikian, kami menyatakan pendapat WTP atas LKPP Tahun 2016. Opini WTP atas LKPP Tahun 2016 ini merupakan yang pertama kali diperoleh Pemerintah Pusat, setelah 12 tahun menyampaikan pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN berupa LKPP sejak Tahun 2004," jelasnya.