Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang memungkiri bahwa penanaman modal di sektor hulu migas tengah terpuruk. Berkaca dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas di tahun 2016 tercatat US$11,2 miliar atau menurun 26,79 persen dibanding tahun sebelumnya US$15,3 miliar. Harga minyak yang tak kunjung membaik menjadi biang keladi lesunya investasi ini.
Namun, di tengah kondisi seperti ini, Indonesia tak bisa terus menyalahkan kondisi eksternal sebagai penghambat investasi. Pengamat Energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rahmanto menuturkan, investasi hulu migas, khususnya eksplorasi, diperlukan untuk menemukan cadangan terbukti yang baru. Jika tidak ditemukan cadangan baru, maka Indonesia akan mengalami ketergantungan impor minyak mentah atau Bahan Bakar Minyak.
Menurutnya, impor minyak mentah diperkirakan akan mencapai 2,2 juta barel per hari pada 2025 mendatang dan akan meningkat menjadi 4,6 juta barel pada 2050. Hal ini dianggap buruk, karena semakin banyak impor, maka hal tersebut akan merembet ke neraca pembayaran Indonesia. Ujung-ujungnya, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga akan terpuruk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini mungkin tak akan menjadi masalah jika produksi minyak masih melimpah. Nyatanya, produksi minyak Indonesia kian tahun kian menyusut. Pada 2016, produksi minyak tercatat 833 ribu barel per hari. Namun, angka ini diramal akan terus turun hingga 480 ribu barel per hari pada 2020 mendatang jika tidak ada aktivitas tambahan.
"Kalau tidak ada produksi, memang, nanti aktivitas impor bisa berimplikasi ke devisa dan ke nilai tukar. Justru nanti di masa depan, dari sisi anggaran negara juga ujung-ujungnya malah lebih tidak bagus," kata Pri Agung.
Senada dengan Pri Agung, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere menilai, pemerintah tak boleh berpaku tangan melihat kondisi ini. Menurutnya, investasi hulu migas masih akan menarik jika pemerintah memiliki paket regulasi terkait sektor minyak dan gas
(fiscal regime) yang atraktif. Indonesia, menurut dia, harus berlomba dengan negara lain demi mendapatkan aliran dana yang terbatas di tengah ketatnya arus finansial perusahaan migas dunia.
Namun menurut Christina, saat ini
fiscal regime di Indonesia diakui masih belum mumpuni untuk menarik investasi hulu migas. Inefisiensi perizinan, sistem perpajakan, hingga bagi hasil produksi dianggapnya masih perlu dikaji ulang.
"Kepastian
fiscal regime inilah yang menjadi pembanding Indonesia dengan negara lainnya. Ujungnya, tingkat pengembalian investasi yang tinggilah yang akan dituju para investor nantinya," papar Christina.
Sebagai jalan keluar, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 yang berisi tentang bagi hasil
Gross Split. Bagi hasil
Gross Split adalah skema bagi hasil produksi migas berdasarkan prinsip gross tanpa pemulihan biaya operasi.
Sistem ini berbeda dengan PSC
cost recovery, di mana
split antara pemerintah dan kontraktor akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas
(First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan kontraktor
(cost recovery).Pemerintah pun yakin, dengan skema ini, investasi akan meningkat dan jauh lebih efisien. Alasannya, kontraktor tak perlu membuang waktu untuk berdebat dengan SKK Migas ihwal biaya pengadaan barang dan jasa. Pasalnya, proses
Preliminary Front End Engineering Design (FEED) hingga pemilihan kontraktor konstruksi
(Engineering, Procurement, dan Construction/EPC) dilakukan sendiri oleh kontraktor.
Implikasinya, pelaksanaan Gross Split diharapkan bisa mempercepat periode antara eksplorasi hingga produksi pertama
(first oil) yang saat ini berada di angka 15 tahun. "Dengan percepatan proses pengadaan, sebenarnya waktu pengembangan migas bisa di-save dua hingga tiga tahun," jelas Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar.
Sayang, langkah pemerintah ini masih dipandang skeptis. Pri Agung mengatakan, secara kasat mata, memang bagi hasil dasar (base split) bagi kontraktor di
PSC Gross Split dianggap lebih baik dibandingkan
PSC Cost Recovery. Bagi hasil
PSC Gross Split sebesar 43 persen bagi produksi minyak dan 48 persen bagi gas, sedangkan
PSC Cost Recovery hanya 15 persen untuk minyak dan 30 persen untuk gas.
Kendati demikian, secara bersih, sistem
Gross Split malah dianggap memberatkan investor. Menurutnya, jika menggunakan Gross Split, bagi hasil kontraktor bersih
(net contractor solit) bisa lebih kecil dari 50 persen. Terlebih, kontraktor masih perlu dibebani Pajak Penghasilan (PPh) migas serta biaya produksi yang tak bisa dipulihkan.
Namun, apabila menggunakan
PSC Cost Recovery, net contractor split kontraktor sesungguhnya bisa mencapai 50 persen. Sehingga, sudah barang tentu keekonomian menggunakan
PSC Cost Recovery masih lebih baik karena menghasilkan imbal hasil
(return) yang lebih tinggi.
Sejalan dengan Pri Agung, Managing Director APAC Head of Upstream Research and Consulting IHS Nick Sharma mengatakan, arus kas perusahaan migas akan tersendat gara-gara pemerintah menghilangkan skema
cost recovery. Akibatnya, ini bisa menghilangkan selera investor untuk melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia.
"Kami tetap mengapresiasi langkah pemerintah yang ingin mempercepat produksi menggunakan
Gross Split. Namun, sampai saat ini belum ada kuantifikasi secara finansial atas efisiensi yang dilakukan kontraktor. Jangan sampai, penghematan yang kontraktor lakukan nanti setara dengan kehilangan
cost recovery-nya," jelasnya.
Kesimpulannya, Pri Agung dan Nick sepakat bahwa
Gross Split tak ampuh menggiatkan investasi hulu migas. Meski begitu, mereka sepakat bahwa pemerintah harus menaikkan bagian produksi
(split) kontraktor sebesar 15 persen jika tetap kukuh mempertahankan
PSC Gross Split. Tujuannya, agar tingkat pengembalian investor bisa lebih baik dibanding menggunakan
PSC Cost Recovery.Selain itu, keduanya juga sepakat bahwa skema
PSC Gross Split ini hanya berhasil di lapangan yang sudah berproduksi, bukan di lapangan-lapangan yang memasuki masa eksplorasi. "Kalau investor langsung dibebani beban yang sangat tinggi ketika eksplorasi, mereka bisa
walk out," imbuh Nick.
Arcandra sendiri mengatakan bahwa aturan
Gross Split ini merupakan buatan manusia dan bisa alpa setiap saat. Jika memang investasi menjadi tak karuan dengan skema
Gross Split, pemerintah siap untuk mengganti skema tersebut dengan skema lain.
"Tapi, kami butuh bukti dan data yang valid terlebih dahulu kalau skema Gross Split ini memang tidak ekonomis. Jangan hanya bicara, kami butuh angka-angka pastinya," tegas Arcandra.