ANALISIS

Ketika Saham Agrikultur Tersungkur Saat Harga CPO Menanjak

CNN Indonesia
Senin, 31 Jul 2017 12:52 WIB
Umumnya, indeks sektor komoditas selalu beriringan dengan harga komoditas. Namun, pelemahan sektor agrikultur kali ini justru terjadi ketika harga CPO menanjak.
Pada akhir pekan lalu, harga CPO berakhir di level 2.600 ringgit per ton. Angka itu menguat 1,16 persen dari pekan sebelumnya sebesar 2.570 ringgit per ton. (CNN Indonesia/Agustiyanti)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indeks sektor agrikultur terpantau anjlok sepanjang pekan lalu. Penurunanya terbilang cukup dalam, jika dibandingkan dengan sektor lainnya yang juga mengalami pelemahan.

Umumnya, indeks sektor komoditas, seperti agrikultur ataupun tambang selalu beriringan dengan harga komoditas. Namun, pelemahan sektor agrikultur kali ini justru terjadi ketika harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) menanjak.

Pada akhir pekan lalu, harga CPO berakhir di level 2.600 ringgit per ton. Angka itu menguat 1,16 persen dari pekan sebelumnya sebesar 2.570 ringgit per ton.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukan indeks sektor agrikultur malah terkoreksi hingga 2,82 persen ke level 1.742,434 dari sebelumnya 1.793,082. Pelemahan ini membuat indeks sektor agrikultur berada di teritori negatif dalam dua pekan berturut-turut.

Analis MNC Sekuritas Yosua Zisokhi berpendapat, harga CPO memang terbilang menguat, jika dihitung dengan ringgit Malaysia. Namun, karena mata uang Dolar Amerikat Serikat (AS) sedang melemah terhadap ringgit Malaysia, kondisi tersebut menyebabkan harga CPO turun jika dikonversi terhadap dolar AS.

"Dolar AS kan mata uang paling banyak digunakan, jadi investor Eropa dan Amerika melihatnya harga CPO turun," kata Yosua kepada CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.

Selain itu, pelaku pasar juga pesimis dengan kenaikan harga CPO selanjutnya. Pasalnya, harga akhir pekan lalu sudah dibawah harga CPO saat kuartal I 2017 yang berada di level 3.000 ringgit per ton.

"Ini menyebabkan ke depannya sulit mencapai diatas 3.000 ringgit per ton," imbuh Yosua.

Kondisi indeks sektor agrikultur semakin diperburuk dengan aksi ambil untung (profi taking) pelaku pasar. Menurut Yosua, mayoritas pelaku pasar telah melakukan akumulasi beli pada awal tahun atas dasar spekulasi kinerja emiten perkebunan membaik pada semester I 2017 dan harga CPO yang menguat.

"Selain itu juga karena tekanan pelaku pasar melihat sektor ini lebih baik jadi harga saham sudah naik di awal tahun," sambung dia.

Profit taking ini juga didorong oleh prediksi terkait permintaan CPO yang stagnan. Otomatis, harga CPO pun berpeluang tertekan untuk ke depannya.

Ketika Saham Agrikultur Tersungkur Saat Harga CPO Menanjak(CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Di sisi lain, Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan, pelemahan ini merupakan respon pelaku pasar terhadap rilis kinerja keuangan emiten agrikultur pada kuartal II 2017 yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

"Misalnya saja untuk PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bisa dikatakan 70 persen laba bersih di semester I 2017 dikontribusi oleh kuartal I 2017. Kuartal II 2017 hanya 30 persen, jadi timpang sekali," papar Alfred.

Mengutip laporan keuangan Astra Agro, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp1,04 triliun pada semester I 2017. Sementara, laba bersih kuartal I 2017 sebesar Rp801,03 miliar. Artinya, laba bersih kuartal II hanya menyumbang Rp242,55 miliar terhadap total laba semester I 2017.

Tak jauh berbeda, hal ini juga terjadi pada PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP). Kontribusi laba kuartal II 2017 terhadap total laba bersih semester I 2017 hanya Rp85,19 miliar dari total keseluruhan laba bersih semester I 2017 Rp459,53 miliar.

"Astra Agro dan Perusahaan Perkebunan kan pemimpin sektor agrikultur, jadi pelaku pasar melihatnya emiten agrikultur lainnya seperti itu," terang Alfred.

Selain kedua emiten itu, laba bersih kuartal II 2017 PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) juga tidak lebih baik dibandingkan dengan kuartal I 2017. Bila dirinci, total laba bersih semester I 2017 Salim Ivomas sebesar Rp365,46 miliar, tetapi laba bersih kuartal II 2017 hanya menyumbang Rp25,39 miliar dan sisanya dari kuartal I 2017.

Adapun, harga saham Astra Agro turun 4,42 persen ke level Rp14.575 per saham. Disusul oleh penurunan harga saham Salim Ivomas sebesar 1,88 persen ke level Rp520 per saham dan Perusahaan Perkebunan terkoreksi 1,05 persen di level Rp1.405 per saham.

Sentimen Laporan Keuangan Masih Berlanjut

Alfred menilai, koreksi yang terjadi terhadap sektor agrikultur akan berlanjut pekan ini. Pasalnya, hasil laporan keuangan biasanya menjadi sentimen jangka menengah dan panjang untuk pelaku pasar menentukan investasinya.

"Tapi tekanan jual tidak sebesar seperti pekan sebelumnya," kata Alfred.

Menurutnya, sektor agrikultur dapat bangkit (rebound) jika ada kejutan dari harga CPO yang menguat signifikan dari posisi terakhirnya di level 2.600 ringgit per ton. Selain itu, adanya jenuh jual terhadap saham agrikultur.

"Tapi untuk saham jenuh jual memang bisa menguat hanya saja jangka pendek," jelas Alfred.

Sementara itu, Yosua menyebut, sektor agrikultur akan bergantung pada rilis data ekonomi Malaysia, seperti inflasi dan neraca perdagangan. Hal itu akan berpengaruh terhadap nilai kurs Malaysia.

"Jadi ini kembali lagi pada harga CPO kalau dikonversi ke dolar AS turun atau naik. Jadi tergantung mata uang Malaysia," papar Yosua.
Selain itu, data lainnya yang akan berpengaruh terhadap harga CPO, yakni data cadangan penyimpanan CPO. Jika cadangan CPO mengecil, maka akan ada peluang kenaikan signifikan untuk harga CPO.

"Secara keseluruhan potensi untuk sektor agrikultur masih sideways. Nantinya akan sejalan dengan harga CPO. Tidak akan langsung naik tetapi secara bertahap mengikuti," ujarnya.

Menurut Yosua, valuasi saham emiten agrikultur berkapitalisasi besar, seperti Astra Agro dan Sawit Sumbermas masih terbilang murah saat ini.
Untuk Astra Agro sendiri masih memiliki potensi untuk naik 18 persen dengan target harga Rp17.250 per saham. Kemudian, potensi kenaikan Sawit Sumbermas dapat mencapai 16,5 persen.

"Kalau Perusahaan Perkebunan sudah mahal, jadi sulit naik. Harga wajarnya di Rp1.450 per saham, jadi pelaku pasar bisa hold dulu karena potensi kenaikan tipis," pungkasnya
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER