Pengusaha Panas Bumi Protes Aturan Mencla-mencle

CNN Indonesia
Rabu, 02 Agu 2017 14:41 WIB
Berubahnya regulasi bisa berimbas pada perubahan nilai keekonomian proyek, membuat banyak investasi tertahan.
Berubahnya regulasi bisa berimbas pada perubahan nilai keekonomian proyek, membuat banyak investasi tertahan. (REUTERS/Beawiharta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) mengeluhkan peraturan ihwal pengembangan panas bumi yang dianggap tidak konsisten sepanjang tahun ini. Sebab, berubahnya regulasi bisa berimbas pada perubahan nilai keekonomian proyek, membuat banyak investasi tertahan.

Ketua API Abadi Poernomo menuturkan, di tahun ini sendiri ada dua Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membuat dirinya mengernyitkan dahi.

Yang pertama, adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 ihwal tarif setrum yang bisa dibayar PT PLN (Persero) dari pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Ia mengeluhkan pasal 11 aturan itu yang menyebut bahwa tarif listrik bisa dinegosiasikan dengan PLN jika harganya setara atau di bawah Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika tarif dibuat negosiasi, maka ia khawatir proses perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) bisa lama dan berujung pada bertambahnya biaya pengembangan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).

“Karena belum jelas aturan mainnya, apalagi kami disuruh business-to-business dengan PLN (ihwal tarifnya). Ini memerlukan waktu yang lama, karena sumber daya manusia PLN terbatas dan WKP yang dirundingkan banyak sekali, waktu yang dibutuhkan bisa berlarut-larut. Padahal, investor inginnya bisa moving forward cepat agar cost bisa ditekan,” ujar Abadi ditemui di Jakarta Convention Center, Rabu (2/8).

Bahkan, ia mengatakan bahwa perundingan tarif setrum dengan PLN ini diperkirakan bisa makan waktu tujuh hingga delapan tahun. Jika waktunya terlampau lama, ia cemas biaya pengembangan membengkak dan ujung-ujungnya terpaksa dibebankan ke konsumen.

Hal ini, lanjutnya, merupakan kontradiksi mengingat pemerintah sendiri menginginkan listrik yang dihasilkan dari panas bumi bisa efisien.

“Semua biaya ini kan tidak mungkin dibebankan ke pengembang. Bebannya akhirnya di-share ke harga listrik. Ini kemudian membebani rakyat, hal seperti inilah yang kami hindari,” lanjutnya.

Masalah Keadaan Kahar

Selain masalah harga jual listrik, Abadi mengeluhkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang mengatur soal PPA. Adapun, pasal 8 peraturan itu menyebut bahwa, keadaan kahar yang disebabkan kebijakan pemerintah (government force majeure) menjadi risiko yang perlu ditanggung badan usaha.

Menurutnya, ini akan mempengaruhi pendanaan bagi investor, karena lembaga pembiayaan kadang enggan menggelontorkan dana bagi proyek yang memiliki risiko tinggi.

Apalagi, pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) swasta hanya bisa memanfaatkan pinjaman komersial yang memiliki tenor sempit dan bunga yang lebih tinggi.

“Pembiayaan kami berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bisa mendapatkan soft loan yang punya bunga rendah dan masa pinjaman sampai 30 tahun. Akibatnya, confidence level pengembang menjadi tanda tanya,” katanya.

Gara-gara dua kebijakan itu, banyak proyek PLTP yang terpaksa menahan pelaksanaan kontrak penjualan listrik dengan PLN. Hal ini, sebutnya, berbanding terbalik ketika pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2014 yang menyebabkan investor berbondong-bondong berinvestasi di bisnis panas bumi.

Karena di dalam aturan itu, pemerintah menetapkan harga patokan setrum tertinggi berdasarkan waktu beroperasinya pembangkit.

"Pada saat itu orang menggebu-gebu masuk ke panas bumi karena masuk keekonomiannya. Oleh karenanya, yang kami butuhkan saat ini adalah sustainability regulasi," paparnya.

Menurutnya, ketidaksinambungan regulasi ini sangat disayangkan karena potensi pengembangan panas bumi cukup menjanjikan. Menurut Kementerian ESDM, potensi panas bumi Indonesia tercatat sebesar 29.544 MW, namun pemanfaatannya hingga 2016 baru 5,61 persen saja.

"Kami berharap cost dari regulasi ini bisa lebih diperkecil," lanjutnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER