Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai, Peraturan Menteri Perdagangan RI tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) merugikan petani tebu. Oleh karena itu Kemendag didesak untuk membenahi aturan tentang tata niaga gula di Indonesia.
"Harga yang diatur dalam Permendag ini merugikan petani, karena harga acuan gula tani (HPP) masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar Rp10.600 per Kg, sedangkan HPP idealnya harus diatas BPP," kata Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen dikutip dari Antara, Kamis (3/8).
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 27/M-DAG/PER/5/2017 itu menetapkan harga acuan gula tani (HPP) Rp9.100 per Kg dan HET gula ditingkat konsumen Rp12.500 per Kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, para petani keberatan atas pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) gula di pasar atau retail yang dibatasi Rp12.500 per kg. Pasalnya, menurut dia, pada kenyataannya pedagang menekan harga beli gula petani pada harga di bawah Rp10.000 per kg (di bawah biaya produksi), sehingga harga gula petani bisa turun sampai Rp9.100 per kg.
"Harga eceran tertinggi (HET) harus di atas HPP. Jadi jelas sekali bahwa dengan besaran HPP dan HET yang ada saat ini merugikan petani," ujarnya.
Soemitro mengatakan, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APTRI pada 20 - 21 Juli 2017, pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi untuk meminta Menteri Perdagangan menaikkan HPP gula tani menjadi Rp11.000 per Kg. Pihaknya juga meminta agar Kemendag menaikkan HET gula menjadi sebesar Rp14.000 per kg.
"Angka kenaikan yang kami ajukan ini sangat wajar. Sebab, petani perlu mendapat keuntungan dari usaha tani tebu selama setahun. Di pihak pedagang juga untung dan juga tidak memberatkan kepada konsumen," ujarnya.
Soemitro juga menjelaskan, usulan kenaikan HPP dan HET ini dengan mempertimbangkan rendemen tahun ini yang sangat rendah, yakni rata-rata 6-7 persen dengan produksi tebu 70 - 80 Ton/hektare. Rendemen rendah disebabkan mesin pabrik gula yang sudah tua.
"Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah karena mayoritas pabrik gula milik BUMN rendemennya rendah. Padahal ketika tebu petani digiling di pabrik gula swasta maka rendemennya tinggi. Dengan adanya rendemen rendah, maka petani sangat dirugikan karena telah kehilangan pendapatan," jelasnya.
Soemitro menambahkan, lelang gula tani musim giling tahun 2017 lebih rendah dibanding musim giling tahun lalu, di mana lelang gula tani pada giling tahun 2016 mencapai rata-rata Rp11.500 per kg sedangkan tahun ini rata-rata Rp9.500 per Kg.
"Rendahnya harga lelang gula tani tahun ini disebabkan karena kebijakan HPP dan HET yang rendah. Hal ini sangat merugikan petani karena biaya produksi naik akan tetapi harga jual gula rendah," ucapnya.