Mereka yang Belum Tergapai Kemerdekaan Finansial

CNN Indonesia
Rabu, 16 Agu 2017 11:04 WIB
Bekerja sehari-hari dekat dari Kantor Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Sundari (30) dan Oman (45) masih tak paham dengan produk keuangan.
Oman Sugiarto (45) sudah menekuni profesinya sebagai tukang sapu jalanan di sekitar Balaikota, Jakarta selama 10 tahun terakhir. (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Teriknya matahari tak menghentikan Sundari (30) untuk menjajakan-botol-botol minuman air mineral kepada pengunjung yang memadati kawasan Monas di hari Minggu.

Sesekali tangannya membasuh kening, mengelap keringat yang mulai mengucur. Sebotol air mineral bermerek Aqua, yang diplesetkan menjadi 'acua', dihargainya Rp5 ribu.

"Sehari paling saya dapat Rp20 ribu. Kalau hari Minggu, lumayan," ujar Sundari saat berbincang dengan CNNIdonesia.com akhir pekan lalu.
Sundari (30) menjajakan-botol-botol minuman air mineral kepada pengunjung yang memadati kawasan Monas di hari Minggu.Foto: CNN Indonesia/Safyra Primadhyta
Sundari (30) menjajakan-botol-botol minuman air mineral kepada pengunjung yang memadati kawasan Monas di hari Minggu.
Setiap hari, Sundari berjalan kaki ke kawasan Monas dari kontrakan sederhananya di Kwitang, Senin Jakarta Pusat. Wanita asal Madura, Jawa Timur ini mengaku tinggal bersama seorang temannya sehingga hanya perlu membayar biaya 'inap' Rp250 ribu per bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ibu dari tiga tahun ini mengaku tak tamat pendidikan dasar. Namun, ia sempat mengenyam pendidikan lembaga yang disebutnya sebagai 'sekolah Arab'.

Tak ayal, pengetahuannya soal produk jasa keuangan sangat terbatas. Dengan rata-rata penghasilan kurang dari Rp50 ribu per hari, ia mengaku tak memiliki tabungan bank.

"Tabungan apa, darimana uang saya? Saya tidak bisa, saya tidak sanggup," katanya sambil melirik belasan wanita sebaya yang memiliki 'profesi' yang sama dengannya.

Sebagian penghasilannya sengaja ia sisihkan buat anaknya yang berada di kampung. Maklum, suaminya telah meninggal sehingga ia hanya seorang diri menafkahi keluarga.

Setiap kali ada kawan yang kembali ke kampung, Sundari menitipkan uang tersebut untuk disampaikan kepada keluarganya. Padahal, Sundari sebenarnya memiliki pilihan untuk mengirimkan uangnya melalui transfer perbankan yang sebenarnya lebih aman.

"Saya lebih suka menitipkan," jawabnya tanpa ragu.

Tak jauh dari Sundari, Oman Sugiarto (45) tampak asyik menyapu trotoar depan Balaikota Jakarta. Pria anggota 'pasukan orange' ini mengaku sudah hampir sepuluh tahun menjadi petugas kebersihan.

Berbeda dengan Sundari, pria yang telah menjadi tukang sapu sejak 2012 ini mengaku telah memiliki rekening tabungan Bank DKI sebagai penampung upah yang diterimanya. Hal itu tak lepas dari kebijakan pemerintah daerah yang mengharuskan pencairan upah langsung dikirim ke rekeningnya.

Kendati demikian, sama dengan Sundari, keterbatasan penghasilan membuat uang yang diterimanya hanya sekedar mampir di rekening. Pengetahuannya soal produk perbankan lain juga terbatas.

"Deposito itu setahu saya yang jumlah nominalnya banyak," ujarnya sambil menyapu sampah yang berserakan.

Sundari dan Oman merupakan potret dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki keterbatasan pengetahuan terhadap produk keuangan. Sungguh ironi, mengingat keduanya mencari nafkah tak jauh dari Istana Negara, Bank Indonesia, dan kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Presiden Joko Widodo, tahun lalu, menargetkan 75 persen penduduk Indonesia memiliki tabungan pada tahun 2019. Cita-cita yang sangat tinggi mengingat masih rendahnya tingkat literasi keuangan dan porsi tabungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

Sebagai gambaran, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio tabungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun lalu masih di bawah 40 persen.

Angka tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan Singapura sebesar 49 persen, Filipina sebesar 46 persen, serta China sebesar 49 persen.

Meningkatkan literasi dan inklusi keuangan memang menjadi salah satu pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh Indonesia. Jika masyarakat memahami layanan keuangan, masyarakat bisa terlndungi secara finansial. Di sisi lain, kinerja sektor keuangan Indonesia juga bisa terdongkrak.

Sayangnya, meski telah merdeka sejak 72 tahun lalu, tak sampai separuh masyarakat yang paham mengenai sektor keuangan.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK, indeks literasi (pengetahuan terhadap) keuangan Indonesia pada tahun 2016 hanya mencapai 29,66 persen dari total penduduk dengan indeks inklusi (cakupan) keuangan 67,82 persen. Rasio itu sudah meningkat dari posisi 2013 di mana indeks literasi keuangan hanya 21,84 persen dengan indeks inklusi keuangan 59,74 persen.

Jika dirinci, indeks literasi perbankan naik dari 21,80 persen pada 2013 persen menjadi 28,94 persen, dengan indeks inklusi melonjak dari 57,28 persen menjadi 63,63 persen.

Sementara, indeks literasi perasuransian melorot dari 17,84 persen menjadi 15,76 persen pada 2016, dengan indeks inklusi naik dari 11,81 persen menjadi 12,08 persen pada 2016.

Kemudian, indeks literasi dana pensiun naik dari 7,13 persen menjadi 10,91 persen pada 2016, dengan indeks inklusi naik dari 1,53 persen menjadi 4,66 persen.

Selanjutnya, indeks literasi lembaga pembiayaan naik dari 9,80 persen menjadi 13,05 persen, dengan tingkat inklusi juga meningkat dari 6,33 persen menjadi 11,85 persen.

Berikutnya, indeks literasi pergadaian naik dari 14,85 persen menjadi 17,82 persen, dengan tingkat inklusi naik dari 5,04 persen menjadi 10,49 persen.

Indeks literasi pasar modal naik dari 3,79 persen menjadi 4,40 persen pada 2016, dengan indeks inklusi melonjak dari 0,11 persen menjadi 1,25 persen.

Lalu, Indeks literasi BPJS Kesehatan pada 2016 baru mencapai 28,29 persen, dengan indeks inklusi 68,83 persen dan BPJS Ketenagakerjaan baru mencapai 11,02 persen dengan indeks inklusi 5,05 persen.
Melihat perkembangan di atas, bisa dibilang perkembangan edukasi literasi keuangan berjalan relatif lambat. Oleh karena itu, sebagai wasit industri jasa keuangan, OJK mengaku tidak berdiam diri.

Selain melakukan edukasi secara langsung, OJK juga menggandeng pelaku usaha jasa keuangan. Tahun lalu, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 76/POJK.07/2016 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan bagi Konsumen dan/atau Masyarakat (POJK Literasi dan Inklusi Keuangan).

Dalam beleid tersebut, OJK mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan membentuk unit khusus untuk melaksanakan kegiatan terkait peningkatan literasi dan inklusi keuangan.

"POJK itu mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan melakukan edukasi (keuangan) minimal setahun sekali, yang tidak boleh disambi untuk jual produk," tutur Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara.

Edukasi keuangan juga diberikan oleh BI, terutama yang terkait dengan sistem pembayaran. Sejak 2014 lalu, BI bersama pemerintah telah mengkampanyekan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

"Kami memiliki BI Institute yang kuat terkait edukasi. Kami juga kerja sama dengan OJK yang berkepentingan supaya masyarakat paham dengan konteks financial literacy," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, masih terbatasnya akses lembaga keuangan ke daerah menjadi salah satu penyebab lambannya perkembangan literasi dan inklusi keuangan di tanah air.

"Meskipun sudah diberikan edukasi, kalau lokasi lembaga keuangan terdekatnya jauh, hasilnya kurang optimal," jelas Bhima.

Guna menjangkau masyarakat, OJK dan industri perbankan nasional meluncurkan program layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusi (laku pandai). Layanan keuangan seperti buka tabungan, setoran tunai, tarik tunai, dan transfer uang bisa dilakukan melalui agen bank.

Salah satu bank yang gencar menggalakkan program ini adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Tahun ini, perseroan menargetkan bisa merekrut hingga 200 ribu agen dari posisinya saat ini 103 ribu agen. Upaya ini tak mudah, karena pemahaman masyarakat terkait fungsi agen masih terbatas.

"Orang kadang tidak paham menjadi agen itu seperti apa. Ini kan proses pelan, setelah kelihatan manfaatnya, ada agen yang dapat Rp20 juta per bulan, orang sudah banyak yang mau. Tetapi, kami melakukan seleksi agar agen tetap berkualitas," ujar Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Suprajarto.

Bhima juga menyoroti sebagian besar literasi keuangan berbasis pada produk perbankan. Padahal, menurut Bhima, masih banyak produk industri keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan non bank seperti koperasi dan baitul mal yang lebih dengan masyarakat.
Lebih lanjut, pemerintah juga bisa berperan dalam meningkatkan literasi keuangan melalui penyaluran bantuan secara nontunai misalnya dalam bentul voucher bantuan pangan maupun program keluarga harapan. Dengan cara ini, penerima bantuan, yang notabene masyarakat miskin, mau tidak mau akan berkenalan dengan layanan jasa keuangan.

"Seiring penerapan bantuan nontunai, akan banyak penduduk miskin yang paham produk jasa keuangan khususnya perbankan," jelas Bhima.

Tak kalah penting, pemerintah juga perlu membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Misalnya, meningkatkan akses pendidikan dan menjaga iklim investasi agar dapat membuka lapangan pekerjaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat seperti Sundari yang mengeluh karena tidak punya penghasilan yang bisa ditabung.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER