Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengungkapkan, alokasi anggaran subsidi energi bertambah menjadi Rp103,37 triliun di tahun depan demi mengantisipasi dampak dari perubahan nilai tukar (kurs) rupiah yang diperkirakan melemah ke kisaran Rp13.500 per dolar Amerika Serikat (AS) dari tahun ini yang masih berkisar Rp13.300 per dolar AS.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menjelaskan, antisipasi depresiasi kurs rupiah ini kemudian dimasukkan dalam asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2018.
Adapun risiko depreasi rupiah terlihat dari potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Federal Reserve secara gradual di 2018, sehingga membuat seret arus masuk kas ke dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski dari sisi asumsi harga minyak mentah Indonesia (
Indonesia Crude Palm Oils/ICP) tetap berada di angka yang sama di APBN Perubahan 2017 sebesar US$48 per barel. Hal ini lantaran produksi minyak dari negara-negara penghasil minyak diperkirakan tetap stabil.
"Subsidi naik itu karena faktor indikator ekonomi minyak dan gas bumi (migas). Jadi, ICP (diperkirakan) naik dan kurs sedikit terdepresiasi, itu punya dampak ke tambahan subsidi," ujar Askolani di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (18/8).
Sementara, dari sisi domestik, ada perubahan volume
lifting minyak dari semula 815 ribu barel per hari (bph) menjadi 800 ribu bph. Meski,
lifting gas bumi meningkat menjadi 1,2 juta barel per hari setara minyak dari sebelumnya 1,15 juta.
Kemudian, ada potensi diberlakukannya kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga di seluruh penjuru Indonesia oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT Pertamina (Persero), termasuk di Papua, yang masih merasakan harga BBM yang tinggi.
"Ada satu yg dilakukan ESDM dan Pertamina itu kebijakan BBM satu harga di Papua. Insyaallah itu bisa di 2018," kata Askolani.
Kendati begitu, Askolani memastikan, tidak ada perubahan kebijakan subsidi energi di tahun depan, di mana pemberian subsidi tetap di semua jenis energi, mulai dari BBM, gas elpiji tiga kilogram (kg), hingga listrik berkapasitas 900 voltampere (VA).
"(Subsidi ke) BBM tetap, LPG tiga kg tetap dengan harga yang sama, listrik sama untuk 450 VA dan 900 VA yang sekarang dipertahankan untuk dapat subsidi. Target yang sama, tidak ada perubahan," terang Askolani.
Namun, pemberian subsidi masih bisa bertambah bila sisi ekonomi sektor migas berubah atau bisa pula lebih hemat bila ada penyusutan jaringan listrik atau pemerintah mengombinasikan energi.
Senada, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah masih melihat potensi kestabilan asumsi ICP di angka US$48 per barel, namun pemerintah tetap mengantisipasi bila ada potensi peningkatan permintaan volume energi.
"Peningkatan permintaan kami rasa sih ada karena pertumbuhan ekonomi dunia sepertinya ada perbaikan, perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia biasanya permintaan naik," kata Suahasil.
Adapun jumlah subsidi energi sampai akhir tahun ini sebesar Rp89,96 triliun di APBN Perubahan 2017. Subsidi tersebut terbagi atas subsidi listrik sebesar Rp45,37 triliun. Lalu, subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp10,01 triliun.
Kemudian, subsidi gas elpiji sebesar Rp36,31 triliun, namun yang digunakan di tahun ini hanya sekitar Rp30,61 triliun dan sisanya Rp5,7 triliun dialihkan (
carry over) ke tahun depan.
Sedangkan untuk subsidi non energi di tahun depan justru menurun menjadi Rp69,04 triliun dari tahun ini nencapai Rp79 triliun di APBN Perubahan 2017. Subsidi non energi tahun ini terbagi atas subsidi bunga kredit program sebesar Rp13 triliun, subsidi pajak Rp9,4 triliun, subsidi pangan Rp19,8 triliun, subsidi pupuk Rp31,2 triliun, subsidi benih Rp1,3 triliun, dan subsidi PSO Rp4,3 triliun.
Sehingga secara keseluruhan, anggaran subsidi di tahun depan mencapai Rp172,41 triliun dari tahun ini sebesar Rp168,96 triliun.