Jakarta, CNN Indonesia --
Kegiatan berdagang menjadi naluri yang sudah ada sejak manusia hadir, bahkan ketika masa sebelum masehi. Dalam perjalanannya, transaksi barang dan jasa bermetamorfosa sesuai perkembangan zaman.
Di Indonesia, transaksi perdagangan berubah wujud sesuai era pemerintahan masing-masing pimpinan. Untuk mengulik lebih dalam, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady berbagi pengalaman di ujung masa baktinya yang berakhir Oktober 2017. Berikut petikan wawancara dengan CNNIndonesia.com:
Bagaimana pandangan anda tentang kondisi perdagangan Indonesia dari masa ke masa?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivitas perdagangan nasional mengalami perubahan signifikan dari waktu ke waktu. Jika ditelisik, perubahan bergantung pada masa pemerintahan pemimpin negaranya.
Era orde baru misalnya, terjadi pengekangan devisa negara, tapi ekspor impor bebas dengan mata uang apa saja tanpa terkekang Bank Indonesia. Ada proteksi tapi untuk mendorong ekspor habis-habisan untuk mengganti minyak mentah jadi nonminyak. Hal ini bagus.
Jadi, importir harus memberi kompensasi untuk negara dengan melakukan ekspor barang dari Indonesia. Itu pemikiran yang hebat. Sebaliknya, eksportir diberi bonus 5 persen dari nilai ekspor. Ada juga kemudahan kredit ekspor di bawah tarif pasar, asuransi ekspor, kebijakan imbal beli untuk mendorong ekspor. Kebijakan PP 82 selalu bagus dan terus menerus hidup dalam paket kebijakan.
Untuk menjaga kebijakan fiskal transaksi berjalan, pemeritnah menerbitkan tujuh kebijakan tata niaga industri dan pengendalian impor pertanian. Tujuannya untuk membesarkan perusahaan dalam negeri. Ada juga kebijakan importir terdaftar yang efektif karena populasi besar.
Bagaimana dampak kebijakan tata niaga era Orde Baru?
Kebijakan tata niaga era Orde Baru juga mendorong investasi. Saat itu, negara di kawasan belum banyak membangun kawasan industri. Saat zaman Presiden Soeharto dalam Pelita 2 Indonesia selangkah lebih maju karena sudah masuk era industri.
Dampaknya, tata niaga impor mendorong investasi yang melesat pada 1982. Semua kebijakan sangat baik.
Pada 1988, ada paksaan untuk menutup impor walaupun tak ada industri nasional yang benar-benar siap. Kebijakan itu efektif karena ekspor nonmigas melonjak, mulai beralih pada pengolahan barang dari sumber daya alam. Industri cepat sekali saat itu, ekspor didorong, impor terkendali.
Kapan titik balik kondisi tata niaga mulai goyah?
Mulai 1984-1985, kebijakan tujuh tata niaga ekspor mulai kacau. Pemerintah akhirnya melakukan deregulasi total secara unilateral tanpa dipaksakan demi industri. Terdapat 1 Surat Keputusan (SK) yang menggunduli 154 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Deregulasi yang kami lakukan sangat efektif. Ketika mendorong ekspor dengan empat instrumen, dan mengendalikan impor, pemerintah melakukan deregulasi sendiri tanpa paksaan. Hasilnya, industri nasional sangat kuat. Industri Indonesia bahkan sempat menjadi lebih kuat dari Singapura dan Hongkong. Instrumen itu efektif.
Hal itu efektif karena kondisi politik dalam negeri. Artinya, kalau bikin SK tidak ada yang mengatur dan melarang pihak internasional. Ketika 1988, subsidi ekspor Indonesia mulai diprotes oleh Amerika Serikat. SE (surat edaran) kami dicabut.
Pada 1994, WTO berulah melalui kebijakan liberalisasi yang diatur. Indonesia harus melakukan kebijakan tarif, bukan tata niaga. Pemerintah melakukan deregulasi yang tidak diingini, tapi terpaksa karena kewajiban. Kalau dipaksa malah kurang bagus hasilnya karena terlalu memikirkan kewajiban, tidak mengedepankan hak. Menurut saya, itu catatan sejarah yang tak bisa saya lupa.
Saat kondisi politik dan ekonomi runtuh pada 1997, apa yang terjadi dengan kebijakan perdagangan nasional?
Krisis 1997-1998, saya sempat bilang, kalau kondisi begini, biarkan saja krisis memukul kita habis-habisan sampai surut sendiri supaya kelihatan tonggaknya apa. Pemerintah lebih baik diam daripada berbuat sesuatu, karena kita belum tahu surutnya krisis Asia itu paling buruknya sampai seberapa dalam. Krisis itu kan ditimbulkan oleh moneter. Pemerintah belum tahu kapal ekonomi kita bocor dan serapuh apa, bank tidak terkontrol, karena fondasi ekonomi sudah parah. Jadi kapal itu sudah hampir tenggelam. Saya pikir sekalian saja tenggelam dulu, daripada berbuat sesuatu malah makin parah.
Salah satu hal yang saya usulkan adalah melakukan tertib devisa, bukan pengendalian tapi tertib, catat saja devisa masuk dan keluar. Tapi dari sektor moneter keberatan karena merasa tidak kuat. Saya tidak tahu ekonometriknya, tapi saya heran, kenapa negara lain bisa melakukan itu, negara kita tidak boleh. Saya berdebat waktu itu.
Pasca-1998 krisis Asia, struktur ekonomi Indonesia berubah total. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai penggerak ekonomi. Sebelum krisis bisa diibaratkan dengan istilah ‘state run economy’ (ekonomi digerakan pemerintah), karena ekonomi dikendalikan pemerintah, kita banyak uang, banyak utang, dan banyak minyak.
Dulu ada tim deregulasi tata niaga ekspor-impor, kalau mau membuat aturan langsung saja, tak perlu ada izin DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), tidak perlu diprotes di Mahkamah Konstitusi dan lainnya.
Dulu bisa langsung memberi subsidi untuk industri tertentu, menyuntikan dana untuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara), negara dikendalikan oleh negara. Tak ada disiplin internasional yang mengatur, bebas merdeka.
 Pasca-1998 krisis Asia, struktur ekonomi Indonesia berubah total. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai penggerak ekonomi. (CNN Indonesia/ Hesti Rika) |
Bagaimana perbedaan antara tata niaga pra dan pasca reformasi?Setelah krisis Asia, pemerintah menjadi corporate run economy (ekonomi dijalankan negara layaknya perusahaan), sebagai perusahaan yang tak bisa lagi melakukan intervensi.
Sekarang setelah krisis tak punya kemampuan karena reformasi fiskal, hanya 11 persen yang bisa diutak-atik, itupun tidak bisa digunakan semua.
Intinya, pemerintah benar-benar menjadi korporasi, regulator, sekaligus fasilitator yang menjaga daya saing, kalau ada utang dilakukan penekanan, diperpanjang. Kalau ada masalah fiskal, dilakukan restrukturisasi.
Ketika masuk WTO (World Trade organization), mulai reformasi, transisi demokrasi, terjadi euforia otonomi daerah jadi tak bisa diatur lagi. Mau membuat aturan tidak lagi mudah, sedikit-sedikit ada demonstrasi, pemerintah daerahpun mengatur harga sendiri.
Kalau dulu kekuatan bergantung pada moneter dan fiskal, sekarang kekuatan berada di deregulasi. Krisis Asia benar-benar mengubah politik ekonomi Indonesia. Pemerintah jadi sangat memperhatikan dinamika otonomi daerah transisi demokrasi dan pengaruh global, tidak bisa semena-mena. Rumah tangga harus bisa bergaul dengan negara lain.
Hal apa yang dapat anda serap dari pengalaman menangani kebijakan tata niaga dari masa ke masa?
Kesimpulannya satu, kebijakan tata niaga dari masa ke masa adalah ekspresi kepemimpinan. Saya tak perlu melihat yang lain, cukup dengan mengetahui kepemimpinan terlihat berdasarkan kebijakannya. Semua kebijakan bagus.
Pada era pemerintahan Soekarno, bentuk kepemimpinan tercermin dari kebijakan tersentralisasi, semua berdasarkan pusat. Hal itu wajar karena terjadi sesaat setelah merdeka, untuk mempertahankan persatuan.
Era Presiden Soeharto lebih berkonsentrasi ekonomi di lapangan melalui pembangunan dan stabilisasi politik, yang penting perut. Nomor satu adalah pangan. Industri berbasis pertanian. Memanjakan industri yang besar-besar karena diharapkan bisa mengalir ke bawah, dan memanjakan sektor industri, terutama yang subtitusi ekspor agar kondisi perdagangan terjaga.
Masa tiga kepemimpinan singkat Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri merupakan periode pembenahan, jaman cuci piring, masih membenahi semua hal, masa mencari identitas.
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia masuk ke suasana ekonomi politik yang baru dan benar-benar menyesuaikan dinamika pasar global atau faktor eksternal sebagai kiblat. Dia lebih berfokus pada pendekatan regional development, penyesuaian dengan pasar global. Semua forum internasional diikuti, mencari pergaulan dengan pasar global. Pertumbuhannya bagus, pengangguran turun, kemiskinan turun. Program-program bantuan internasional cukup banyak.
Masa kepemimpinan presiden Joko Widodo saat ini lebih merupakan kolaborasi seimbang dari seluruh kebijakan. Sekarang zamannya bekerja bersama, baru terasa sekarang. Tidak boleh ada isu yang timpang dari sisi ekonomi. Dilihat basisnya.
Sekarang kita menjalankan pilar-pilar ekonomi. Pilar pertama, transformasi ekonomi, Kontennya adalah reorientasi budget dari semula subsidi konsumsi menjadi penghematan konsumsi. Reforma agraria, fokus infrastruktur melalui proyek strategis nasional sampai munculnya pengelolaan baru yang lebih efisien dan efektif, inovasi amnesti pajak, dan lainnya.
Pilar kedua, merespon dinamika ekonomi, baik eksternal maupun internal, dengan paket kebijakan. Seperti diketahui, ada kekhawatiran dengan perlambatan ekonomi yang panjang dengan kontribusi IHK industri minim, sumber daya alam bergantung pada harga internasional yang terus susut, investasi tidak berkembang.
Jadi pemerintah merespon dinamika ekonomi dengan melihat fasilitas infrastruktur belum mumpuni, membangun infrastruktur penyediaan listrik, mendorong efisiensi waktu pengajuan perizinan investasi, mengadang pungutan liar, mendorong produktivitas, menetapkan upah tetap dan terproyeksi, kemudahan berusaha dan lainnya. Semua direspon melalui paket kebijakan deregulasi.
(lav/bir)