Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Kamis (7/6), waktu Amerika Serikat (AS), dipicu oleh penurunan tajam ekspor
Venezuela. Selain itu muncul kekhawatiran bahwa Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tidak akan memutuskan untuk menaikkan produksinya pada pertemuan bulan ini.
Dilansir dari
Reuters, Jumat (8/6), harga minyak mentah berjangka Brent melesat sebesar US$1,96 atau 2,6 persen menjadi US$77,32 per barel. Penguatan juga dialami oleh harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,22 atau 1,88 persen menjadi US$65,95 per barel.
Kenaikan harga WTI dibatasi oleh lonjakan produksi minyak mentah AS. Akibatnya, selisih antara harga Brent dengan WTI semakin melebar mencapai lebih dari US$11 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di awal sesi perdagangan, harga minyak mendapatkan sokongan dari kekhawatiran atas turunnya ekspor dari Venezuela.
Harga minyak semakin menguat saat Menteri Energi Aljazair Mustapha Guitouni dalam siaran radio resmi pemerintah mengindikasikan bahwa OPEC akan fokus pada upaya menyeimbangkan pasar dibandingkan melonggarkan pembatasan produksi.
"Yang penting bagi kami adalah ada sebuah keseimbangan antara pasokan dan permintaan untuk menjamin stabilitas dari pasar minyak," ujar Guitouni.
Menurut Partner Again Capital John Kilduff, penurunan harga minyak lebih dari 10 persen beberapa waktu lalu membuat negara OPEC mulai mempertimbangkan kembali berbagai hal seiring makin dekatnya waktu pertemuan pada 22 Juni 2018 mendatang di Wina, Austria. Dalam pertemuan tersebut, anggota OPEC dan sekutunya bakal membahas soal kebijakan terkait pasokan.
"Sepertinya mereka (negara-negara anggota OPEC) melawan tekanan Arab Saudi untuk mengerek produksi," ujar Kilduff di New York.
Venezuela, yang juga merupakan salah satu negara anggota OPEC, terancam oleh sanksi dari AS di tengah krisis ekonomi yang melanda. Saat ini, berdasarkan data pengiriman, sudah hampir sebulan pengiriman minyak mentah Venezuela kepada pelanggannya tertunda dari terminal ekspor utamanya.
Keterlambatan parah dan penurunan produksi bakal dengan cepat membuat perusahaan minyak pelat merah Venezuela PDVSA melanggar kontrak pasokan. Tangki-tangki yang tengah menanti untuk diisi lebih dari 24 juta barel minyak mentah, hampir setara dengan pengiriman PDVSA pada April lalu, masih menganggur di terminal minyak utamanya.
Dengan mempertimbangkan masalah Venezuela dan kemungkinan penundaan keputusan OPEC untuk mengerek produksinya, Kepala Riset London Capital Group Jasper Lawler menilai bahwa pasar harus bersiap menghadapi volatilitas harga terus-menerus. Selain Venezuela, Angola juga mengalami penurunan produksi dari lapangan minyaknya yang menua.
Rabu lalu, salah satu negara anggota OPEC, Irak menyatakan bahwa kenaikan produksi tidak menjadi sesuatu yang akan dibahas.Hal itu diungkap usai keluarnya permintaan tidak resmi dari AS kepada pemimpin OPEC Arab Saudi untuk mengerek produksi.
"Memburuknya krisis ekonomi di Venzuela bersama dengan tensi geopolitik yang terjadi di Timur Tengah akan tetap menyokong harga minyak," ujar Analis Senior Interfax Energy Abhisek Kumar.
Kendati demikian, lanjut Kumar, prospek kenaikan produksi dari OPEC dan sekutunya dan melonjaknya produksi dari AS bakal membatasi kenaikan harga minyak.
(agi)