Jakarta, CNN Indonesia -- PT
Perkebunan Nusantara III (PTPN III) selaku induk
holding BUMN Perkebunan menyatakan pembelian tandan buah segar (TBS) plasma PTPN XIII akan dilakukan kembali paling lambat enam bulan, setelah upaya perbaikan dilakukan.
Sebagai informasi, PTPN XIII terpaksa menghentikan pembelian tandan buah segar (TBS) plasma mulai 1 Agustus 2018 karena kondisi keuangan yang kian kritis. Hal itu diketahui dari surat resmi perusahaan yang diperoleh CNNIndonesia.com.
"PTPN XIII lagi dalam keadaan yang sangat menderita jadi kami perbaiki dulu. Sebentar lagi kami akan beli lagi (TBS) dari plasmanya. Kira-kira kasih waktu kami enam bulan untuk kami perbaiki," ujar Direktur Utama PTPN III Dolly P Pulungan kepada
CNNIndonesia.com saat ditemui di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Selasa (7/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dolly mengungkapkan pabrik kelapa sawit (PKS) milik PTPN XIII banyak yang tidak produktif. Akibatnya, perseroan menghentikan operasional PKS di Kalimantan Barat dan menghentikan pembelian TBS plasma mulai 1 Agustus 2018.
"Kalau digenjot terus, (PTPN XIII) dipaksa beli TBS akan jelek. PTPN III rugi dan ekspektasi plasma juga rugi karena rendemen jadi jelek," ujarnya.
Holding telah mengarahkan manajemen PTPN III untuk melakukan perbaikan operasional PKS termasuk di dalamnya perbaikan mesin tangki pemanas (
boiler) dan
Back Pressure Vessel (BPV) yang rusak karena tidak terawat.
"Dalam enam bulan ini, PTPN III akan masuk membantu. Untuk pabrik kami perbaiki, lahan perkebunan juga akan dikerjasamakan dengan PTPN III
holding, PTPN IV, dan PTPN V," ujarnya.
Setelah itu, plasma yang tidak memiliki masalah dengan perbankan akan menjadi prioritas pembelian TBS.
Dari sisi keuangan, Dolly menyebutkan tahun lalu PTPN XIII merugi hampir Rp400 miliar. Kemudian, perseroan juga terbebani oleh utang yang melebihi kemampuan ekuitasnya (
over leverage). Sayangnya, Dolly tak merinci berapa nilainya.
"Operasional (PTPN III) tidak bagus. Ada investasi berlebihan,
over leverage, investasi yang tidak produktif, dan permasalahan modal kerja," ujarnya.
(lav/asa)