Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah membatasi impor demi menekan defisit transaksi berjalan dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dikhawatirkan menuai masalah baru. Muncul kekhawatiran bakal ada protes hingga balasan dari sejumlah negara mitra dagang.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasa. Belum lama ini, Amerika Serikat (AS) sempat menggugat kebijakan dagang Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization/WTO).
Negeri Paman Sam menganggap Indonesia sengaja membatasi impor produk hortikultura asal AS dalam beberapa waktu tertentu. Mengetahui hal itu, AS meminta WTO memberi sanksi berupa retaliasi atau pembatasan impor balasan bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menilai pemerintah harus ekstra hati-hati dalam memberlakukan pembatasan impor, karena tentu akan ada risiko protes dan retaliasi dari mitra dagang.
"Kebijakan retaliasi itu mungkin dihadapkan kepada Indonesia," ucapnya kepada
CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Pembatasan impor tak hanya berpotensi menggoyang hubungan dengan mitra dagang yang sudah berlangsung, tetapi juga memberi sentimen negatif pada perundingan bilateral hingga multilateral yang sedang dilakukan pemerintah dengan mitra dagang baru.
Padahal, Indonesia sedang berupaya mengoleksi hubungan dagang demi menciptakan pasar ekspor baru di luar negeri. Hal ini lantaran pemerintah juga ingin mengakselerasi aktivitas ekspor guna menopang keseimbangan neraca perdagangan.
Tak hanya itu, rencana pembatasan impor juga dinilai bisa menjadi hambatan bagi para calon investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
"Takutnya, bila menerapkan kebijakan ini, akan memberikan
mixed signals (sinyal campuran) kepada investor maupun mitra perundingan," katanya.
Di sisi lain, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani berpendapat, pemerintah sah-sah saja membatasi impor, asal bukan komponen bahan baku dan bahan modal. Pasalnya, kedua komponen ini sangat dibutuhkan oleh industri di dalam negeri.
"Jadi kalau (pembatasannya) impor barang konsumsi, seharusnya
no problem," ujarnya.
Bagi Rosan, ia rela impor dibatasi asalkan kebijakan ini benar-benar bisa memulihkan defisit transaksi berjalan (
Current Account Deficit/CAD) yang terlanjur menyentuh 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, pemulihan defisit transaksi berjalan ini juga tak kalah penting bagi Indonesia.
"Ini diperkirakan bisa membantu mengurangi defisit transaksi berjalan, apalagi diperkirakan defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun bisa mencapai US$25 miliar, cukup besar," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku menyadari risiko kebijakan perdagangan internasional, dan sudah mewaspadai risiko protes dari berbagai pihak terkait.
"Kami semua melakukan secara sadar bahwa mungkin akan bermasalah di tatanan internasional. Dari WTO, sampai hari ini banyak sekali tahap-tahap yang dilakukan. Bahkan, negara-negara maju untuk peningkatan tarif secara sepihak," ungkapnya.
Meski begitu, ia buru-buru membangun kembali kepercayaan publik. Pemerintah, menurut dia, akan menyusun kebijakan pembatasan impor ini dengan sebaik-baiknya, agar tidak memberikan sentimen ke perekonomian Indonesia, yang tengah bertumbuh.
"Makanya, kami mencoba menangani tekanan defisit tersebut tanpa merusak momentum itu. Jadi kami memang akan melakukan kalibrasi terus menerus dari kebijakan ini. Indonesia tetap akan menjaga agar kebijakan ini tetap proporsional," tekannya.
Tak hanya itu, ia memastikan kebijakan pembatasan impor ini akan lebih 'jor-joran' diinformasikan ke publik, sehingga dunia usaha dan masyarakat mengerti betul maksud dan ketentuan-ketentuan pembatasan impor itu.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga buru-buru meyakinkan bahwa pembatasan impor ini akan dilakukan dengan hati-hati, namun tetap tegas karena kebijakan ini tetap perlu dilakukan.
"Caranya tentu dirumuskan. Kalau caranya bisa membuat orang lain meretaliasi, ya tentu repot. Kalau tidak diperlukan, ya tidak akan diimpor," katanya.
 Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika |
Karakter Mitra DagangEkonom Indef Ahmad Heri Firdaus menilai risiko protes hingga retaliasi itu memang ada. Untuk itu, pembatasan impor juga perlu mempertimbangkan karakter dan keeratan hubungan dengan mitra dagang.
"Kalau membatasi dengan sporadis, tentu bisa membuahkan retaliasi, khususnya dari mitra dagang utama dan dengan skema perdagangan bebas, seperti China dan AS," ucapnya.
Terlebih, pengalaman diprotes dan digugat retaliasi ini belum lama dialami Indonesia. Di sisi lain, katanya, AS juga sedang gencar-gencarnya memasang tarif bea masuk impor tinggi bagi negara-negara yang membuat Negeri Paman Sam itu mengalami defisit.
Di sisi lain, seleksi komoditas yang akan dibatasi impornya, harus dilakukan dengan akurat dan transparan. Sebab, tak bisa dipungkiri, permasalahan data masih jadi pekerjaan rumah Kabinet Kerja. Kadang kala, satu kementerian dengan yang lainnya memiliki data yang berbeda.
Hal ini bisa menimbulkan bahaya ketika nanti misal akan membatasi impor barang A karena menurut data produksi kementerian B pasokannya cukup. Padahal, di lapangan justru minim pasokannya.
"Jangan sampai nanti benar-benar kurang pasokan, apalagi barang konsumsi utama masyarakat," terangnya.
Tak ketinggalan, pemerintah juga harus memastikan kemampuan industri untuk mengisi pasokan pengganti (subtitusi). Lalu, masih berhubungan dengan industri, pemerintah juga harus memastikan komoditas yang dibatasi impor bukanlah bahan baku.
"Karena industri manufaktur Indonesia itu sebagian besar masih mengandalkan bahan baku impor. Kalau kekurangan, takutnya kontraproduksi dengan industri," katanya.
Selain masalah kekhawatiran dan kepastian pasokan, Heri melihat sejatinya ada manfaat lain yang bisa didapat Indonesia dari kebijakan ini, yaitu memaksa roda industri dalam negeri untuk lebih kencang berputar.
"Ini memacu mereka agar bisa, apalagi pasarnya ada, lebih longgar. Ini jadi kesempatan," imbuhnya.
Lalu, kebijakan ini juga akan memaksa pemerintah untuk prioritas mengundang investor yang berorientasi produk bernilai tambah untuk datang ke Indonesia. Misalnya, untuk industri handphone, agar tidak melulu impor dari luar negeri.
(lav)