Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (
BPJS) Kesehatan menyebut korban
penganiayaan, kekerasan seksual, dan
terorisme memang dikecualikan dari manfaat yang dijamin. Hal ini lantaran jaminan kesehatan korban-koran tersebut diatur dalam perundangan tersendiri.
Dalam draf revisi Peraturan Presiden (Perpres) yang diterima
CNNIndonesia.com, pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang tidak termasuk dalam jaminan manfaat yang diberikan BPJS Kesehatan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas menjelaskan pihaknya memang tak menjamin korban-korban tersebut lantaran telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berbeda. Pengaturan layanan kesehatan korban penganiayaan, kekerasan seksual dan terorisme, misalnya telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Perkapolri ada ketentuan terkait itu (Layanan kesehatan korban tak dijamin BPS Kesehatan)," ujar Iqbal kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (21/9).
Dalam Perkapolri Nomor 5 Tahun 2014 pasal 13 dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan pada korban kekerasan pada wanita dan anak tak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Jaminan kesehatan pada korban-korban tersebut merupakan bagian dari pelayanan kesehatan kedokteran kepolisian.
Korban kekerasan yang dimaksud mencakup korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dewasa dan anak, serta non-KDRT dewasa dan anak.
Sementara itu, bantuan medis bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, tindak pidana terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan berat diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam UU tersebut diatur pemberian bantuan tersebut dilakukan negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dengan diaturnya jaminan terhadap korban-korban tersebut dalam peraturan perundangan yang berbeda, menurut Iqbal, pihaknya tak bisa memberikan jaminan. Hal tersebut telah diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pasal 49 UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004 menyebut subsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain tidak diperkenankan.
(agi/lav)