Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menguat sepanjang pekan lalu. Penguatan dipicu oleh antisipasi pasar terhadap pengenaan sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran yang berpotensi mengganggu pasokan.
Di sisi lain, kenaikan tertahan oleh tekanan Presiden AS Donald Trump terhadap Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk segera mengerek produksi. Dilansir dari Reuters, Senin (24/9), harga minyak mentah AS West Texas Intermediate menguat 2,7 persen sepanjang pekan lalu menjadi US$70,78 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah acuan global Brent sebesar 0,7 persen menjadi US$78,8 per barel. Investor bergulat dengan pertanyaan apakah produsen minyak dan OPEC dan non OPEC akan mengimbangi hilangnya produksi dari Iran saat sanksi AS ke ekspor minyak Iran mulai berlaku pada 4 November 2018 mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertanyaannya adalah seberapa besar minyak yang berkurang dari pasar dengan pengenaan sanksi AS terhadap Iran," ujar Direktur Riset Pasar Tradition Enery Gene McGillian di Stamford, Connecticut.
Menurut McGillian, bersama dengan penurunan produksi dari Venezuela, pemangkasan produksi Iran bakal menyebabkan gambaran pasokan pasar yang lebih ketat. "Saya rasa pasar sedang mengumpulkan tenaga untuk kembali mencoba mencapai level harga tertinggi dalam beberapa tahun terakhir terakhir," ujar Mc Gillian.
Pada awal sesi perdagangan Jumat lalu, kekhawatiran terhadap pasokan sempat mendongkrak Brent sebesar US$1 menjadi US$80,12 per barel. Namun, harga minyak kembali tertekan setelah seorang sumber berkata kepada Reuters bahwa OPEC dan sekutunya tengah membahas kemungkinan untuk mengerek produksi sebesar 500 ribu per hari (bph).
Kemudian, harga minyak kembali menanjak setelah investor meyakini bahwa pemangkasan produksi Iran terlalu besar untuk sepenuhnya diimbangi oleh kenaikan produksi negara lain.
Harga minyak kembali melandai setelah muncul kekhawatiran harga minyak AS bakal tertekan di kuartal empat mengingat bakal ada kenaikan jumlah persediaan minyak mentah AS seiring berakhirnya musim berkendara (driving season) di AS.
Pada Kamis lalu, Trump mengaitkan dukungan AS terhadap negara-negara Timur Tengah terhadap harga minyak dan kembali mendesar OPEC untuk menekan harga. Cuitan Trump di akun Twitter resminya serta antisipasi pertemuan OPEC yang diselenggarakan Minggu kemarin serta kekhawatiran terhadap pengenaan sanksi AS terhadap Iran menimbulkan fluktuasi perdagangan pada Jumat lalu.
Pada Jumat lalu, harga minyak juga sempat menguat setelah terbit laporan yang menyatakan produsen minyak OPEC dan non OPEC memompa minyak lebih rendah pada Agustus lalu dibandingkan Juli akibat penurunan pasokan dari Iran.
"Ekspor minyak mentah Iran menekan pasar di awal sesi perdagangan dan lebih besar dari perkiraan saat permintaan musiman kuat. Dengan kapasitas cadangan juga menurun tajam, pasar tetap terekspose oleh kenaikan harga yang didorong oleh kondisi pasokan," ujar analis ANZ Bank dalam catatannya kepada klien yang dikutip Reuters.
Analis Bank AS Jefferies Jason Gammel memperkirakan Arab Saudi akan tetap mencoba menjaga pasokan minyak pasar mencukupi pada 2019 dengan mengorbankan kapasitas cadangan.
Gammel memprediksi kapasitas cadangan Arab Saudi akan turun di bawah 1 persen pada akhir tahun depan jika ekspor Iran merosot sesuai dengan perkiraan yaitu di bawah satu juta bph. Kekhawatiran terhadap pasokan minyak global mengurangi imbas dari data Baker Hughes yang menunjukkan perusahaan energi AS memangkas jumlah rig minyak untuk pekan kedua dari 867 menjadi 866 rig.
Lebih lanjut, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC) pada Jumat lalu menyatakan manajer keuangan dan para spekulator memangkas taruhan pada posisi harga bakal naik (
bullish) pada kontrak berjangka minyak mentah AS dan opsi ke level terendah dalam sebulan terakhir pada pekan yang berakhir 18 September 2018.
Kelompok spekulator memangkas total posisi kontrak berjangka dan opsi di New York dan London sebesar 15.972 kontrak menjadi 342.839 selama periode tersebut.
(sfr/agt)