Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menguat lebih dari dua persen pada perdagangan Selasa (11/9), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan dipicu oleh pengenaan
sanksi AS yang akan menekan ekspor minyak mentah Iran.
Selain itu, proyeksi pertumbuhan produksi minyak mentah AS pada 2019 juga diperkirakan bakal lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Dilansir dari
Reuters, Rabu (12/9), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$1,69 atau 2,2 persen menjadi US$79,06 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,71 atau 2,5 persen menjadi US$69,25 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga minyak mentah melanjutkan penguatan pada perdagangan pascapenutupan (
post-settlement) setelah Institut Perminyakan Amerika Serikat (AS) merilis data turunnya persediaan minyak mentah AS sebesar 8,6 juta barel pada pekan lalu. Sebelumnya, para analis memperkirakan stok hanya akan turun sebesar 805 ribu barel.
Dalam laporan bulan Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), produksi minyak AS diperkirakan bakal terkerek 840 ribu bph menjadi 11,5 juta bph pada tahun depan, lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya sebesar 1,02 juta bph menjadi 11,7 juta bph.
Sejak musim semi lalu saat Presiden AS Donald Trump menyatakan bakal mengenakan sanksi terhadap Iran, pedagang minyak mentah telah memasukkan premi risiko yang mencerminkan kemungkinan kekurangan pasokan saat ekspor minyak mentah Iran dipangkas dari pasar. Mendekati 4 November 2018, tanggal mulai berlakunya sanksi AS terhadap ekspor minyak mentah Iran, premi risiko semakin menanjak.
Pemerintah AS telah meminta kepada negara sekutunya untuk mengurangi impor minyak mentah dari Iran dan beberapa negara di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan India telah menuruti permintaan tersebut.
Namun demikian, Gedung Putih tidak ingin mengerek harga minyak dunia yang dapat menekan aktivitas ekonomi hingga memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Senin (10/9) lalu, Menteri Energi AS Rick Perry telah bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih di Washington DC untuk mendorong negara produsen minyak besar menjaga produksi tetap tinggi. Perry akan bertemu dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada esok Kamis (13/9) di Moskow, Rusia.
Sebagai catatan, Rusia, AS, dan Arab Saudi merupakan tiga negara produsen minyak terbesar di dunia yang memenuhi sekitar sepertiga dari total konsumsi minyak harian dunia yang mencapai hampir 100 juta bph.
Pada Selasa (11/9) lalu, berdasarkan laporan kantor berita Rusia TASS yang dikutip Reuters, Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan bahwa Rusia dan kelompok negara produsen minyak di Timur Tengah yang mendominasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) kemungkinan akan meneken perjanjian kerja sama jangka panjag baru pada awal Desember 2018. Namun, Novak tidak merinci detil kerja sama tersebut.
Sebagai catatan, negara anggota OPEC dan non OPEC telah secara suka rela menahan produksi sejak Januari 2017 untuk memperketat pasar. Namun, dengan harga minyak yang telah terdongkrak lebih dari 40 persen sejak kebijakan itu dilakukan dan pasar telah mengetat secara signifikan, muncul tekanan kepada negara produsen untuk kembali mengerek produksi.
"Pelaku pasar tengah mengevaluasi perkembangan kondisi yang ada dengan melihat potensi penurunan lebih jauh produksi minyak Iran dan Venezuela, yang mencerminkan gambaran proyeksi kenaikan harga (
bullish) yang signifikan," ujar Analis Energi Senior Interfax Energy Abhishek Kumar di London.
Pada awal pekan ini, beberapa orang bersenjata menyerang kantor pusat perusahaan minyak Libya National Oil Corporation (NOC) di ibu kota Libya, Tripoli.
NOC telah melanjutkan operasional dengan normal di tengah kerusuhan di Libya. Produksi minyak telah tertekan oleh serangan dan pemblokiran di fasilitas perminyakan meski tahun lalu sebagian produksi telah pulih ke kisaran satu juta barel per hari.
Seiring mengetatnya pasar Timur Tengah, konsumen minyak Asia tengah mencari pemasok alternatif dengan impor minyak dari AS yang dilakukan Korea Selatan dan Jepang mencetak rekor pada September ini.
Sementara, produsen minyak AS tengah mencari pembeli minyak baru yang sebelumnya dijual ke China sebelum pemesanan dari China melambat akibat sengketa dagang antara Washington dan Beijing.
(agi/agi)