Jakarta, CNN Indonesia --
Pertumbuhan ekonomi Jepang menyusut 0,3 persen pada kuartal ketiga tahun ini. Perlambatan terjadi setelah rentetan
bencana yang menghantam
Jepang periode Juli - September 2018.
Menurut Kantor Kabinet Pemerintahan Jepang, seperti dilansir AFP, Rabu (14/11), rentetan bencana alam yang terjadi telah memukul daya beli masyarakat, investasi perusahaan, dan aktivitas ekspor.
"Bencana alam memaksa masyarakat untuk tinggal di dalam rumah dan menghentikan operasi pabrik yang berakibat pada perlambatan kegiatan produksi dan investasi," ujar Katsunori Kitakura, Kepala Strategi Sumitomo Mitsui Trust Asset Management.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, musim panas ini, Jepang dilanda banjir dan longsor besar-besaran di wilayah barat. Diikuti gelombang panas yang membuat 100 orang meninggal dunia, dan topan Jebi, termasuk gempa berkekuatan 6,7 SR di Hokkaido.
"Topan sempat menghentikan sementara operasional bandara internasional utama yang mengakibatkan jatuhnya sektor pariwisata dan mengganggu aktivitas pengiriman dari dan ke luar negeri," imbuh dia.
Buktinya, ekspor barang dan jasa turun 1,8 persen pada kuartal ketiga dibanding kuartal sebelumnya. Sementara, konsumsi swasta melorot 0,1 persen, dan investasi pabrik turun 0,2 persen.
Pun demikian, Kitakura optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal keempat akan bangkit berkat ekonomi global yang solid. "Sementara tetap berhati-hati pada perang dagang China dan AS, namun ekonomi global menunjukkan pertumbuhan yang solid," tutur dia.
Ekonom Natixis Japan Securities Kohei Iwahara mencatat salah satu pendorong utama perekonomian Jepang adalah ekspor. Namun, tensi hubungan dagang yang meningkat lambat laun memukul ekonomi Asia, tak terkecuali Jepang.
Oleh karenanya, ia menyarankan untuk tetap hati-hati. Apalagi, Pemerintah Jepang telah memperkenalkan kebijakan fiskal baru, seperti kenaikan pajak penjualan dari 8 persen menjadi 10 persen mulai Oktober 2019 mendatang.
Kenaikan pajak penjualan ini untuk membiayai utang pemerintah dan jaminan keamanan sosial, terutama biaya medis. Kebijakan ini sempat ditentang karena sempat membuat Jepang resesi pada April 2014 lalu.
(afp/bir)