Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah merosot lebih dari 2 persen pada perdagangan Senin (17/12), waktu
Amerika Serikat (AS), akibat sinyal membanjirnya pasokan di AS. Selain itu, investor juga khawatir terhadap pertumbuhan ekonomi global sekaligus permintaan bahan bakar.
Dilansir dari
Reuters, Selasa (18/12), harga
minyak mentah berjangka Brent turun US$0,67 atau 1,11 persen menjadi US$59,61 per barel. Selama sesi perdagangan, harga Brent sempat tertekan hingga ke level US$58,83 per barel.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah AS berjangka West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,32 menjadi US$49,88 per barel, setelah sempat tertekan ke level US$49,9 per barel. Sebagai catatan, ini merupakan kali pertama WTI ditutup di level kurang dari US$50 per barel sejak Oktober 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga WTI merosot setelah data Genscape mencatat persediaan di hub penyimpanan Cushing, Oklahoma, naik lebih dari 1 juta barel selama periode 11-14 Desember 2018.
Pelaku pasar memperhatikan kondisi pasokan di Cushing mengingat wilayah itu merupakan hub pengiriman untuk kontrak berjangka. Seiring menanjaknya stok di Cushing, harga minyak mentah berjangka AS awal bulan diperdagangkan US$0,33, lebih rendah dibandingkan WTI bulan kedua. Selisih tersebut merupakan yang terlebar sejak Oktober 2017.
"Angka (persediaan) di Cushing muncul lebih tinggi dari yang diantisipasi. Hal ini tentu saja menunjukkan kekhawatiran terhadap berlebihnya pasokan dan melemahnya permintaan," ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Menurut Flynn, produsen minyak shale mulai banyak yang tidak dapat menghasilkan uang dengan harga minyak yang sekarang, terlebih jika berada di bawah US$50 per barel.
"Karenanya, kita akan melihat pemangkasan di sejumah estimasi produksi. Namun, hal itu membutuhkan waktu. untuk sekarang kita mengikuti berlanjutnya momentum pelemahan." ujarnya.
Kekhawatiran terhadap pertumbuhan pasar di China dan Eropa terus meningkat. Hal itu berimbas negatif pada pasar minyak dan aset lainnya.
Selain itu, pelemahan pasar saham di Eropa dan AS pada Senin (17/12) kemarin, juga menyeret pasar modal ke area bawah di seluruh dunia. Hal itu memperparah kondisi setelah aksi jual yang membuat pasar saham global tertekan ke level terendah dalam 17 bulan terakhir.
Sebenarnya, harga minyak mentah berjangka Brent dan WTI telah merosot lebih dari sepertiga sejak awal Oktober lalu hingga akhir November. Keoknya harga minyak tak lepas dari membanjirnya pasokan yang menambah persediaan global.
Selama tiga pekan terakhir harga minyak mulai stabil seiring rencana pemangkasan produksi oleh sejumlah produsen minyak utama dunia.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, telah sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) sejak Januari. Pada pertemuan April mendatang, kebijakan itu akan kembali dievaluasi.
Kepada awak media di Dubai, Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei menyatakan pasar minyak tengah terkoreksi. Karenanya, ia berharap seluruh pihak mengikuti rencana yang ada.
Kendati demikian, sejumlah investor meragukan pemangkasan tersebut cukup untuk kembali menyeimbangkan pasar.
Produksi minyak shale AS yang terus menanjak telah mencaplok pangsa pasar produsen minyak dari Timur Tengah di OPEC, sehingga membuat mereka kesulitan untuk menyeimbangkan anggaran.
Dalam laporan Badan Administrasi Informasi Energi AS yang dirilis awal pekan ini, produksi minyak dari tujuh cekungan utama minyak shale AS diperkirakan bakal melampaui delapan juta bph pada akhir tahun.
Di Rusia, sumber
Reuters menyatakan produksi sejauh ini telah mencapai rekor 11,42 juta bph pada Desember.
Sementara itu, di China, hasil kilang minyak Negeri Tirau Bambu pada November lalu lebih rendah dibandingkan Oktober. Hal itu mengindikasikan meredanya permintaan minyak di tengah perlambatan produksi sektor industri China akibat perekonomian yang terus kehilangan momentum.
(sfr/lav)