Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Perindustrian memproyeksi
ekspor industri
nonmigas tembus US$130,74 miliar atau setara Rp1.895 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) di sepanjang tahun ini. Proyeksi itu meningkat 4,51 persen dibanding realisasi ekspor industri nonmigas tahun lalu sebesar US$12,10 miliar.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan industri pengolahan nonmigas menyumbang mayoritas ekspor Indonesia. "Industri pengolahan nonmigas berkontribusi 72,28 persen dari total ekspor Indonesia pada tahun ini," ujarnya di Kantor Kemenperin, Jakarta, Rabu (19/12).
Tak cuma itu, industri pengolahan nonmigas juga menyumbang kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2018, sumbangsihnya mencapai 17,66 persen. Sementara, kontribusi industri pengolahan migas cuma 2,23 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sektor penyumbang terbesar, yakni industri makanan dan minuman sebanyak 6,34 persen, kimia 2,98 persen, barang logam, komputer, barang elektronika, mesin dan perlengkapan sebesar 2,16 persen, alat angkutan 1,86 persen, termasuk tekstil dan pakaian jadi 1,13 persen.
Untuk menggenjot ekspor industri pengolahan nonmigas di masa mendatang, pemerintah akan menyasar pasar perdagangan mobil sedang. Apalagi, saat ini jenis mobil yang dikembangkan oleh industri di dalam negeri masih berkutat pada SUV dan MPV.
"Kalau kita mau naikkan kue, maka kita harus masuk ke kue yang besar," tutur Airlangga.
Untuk mendukung rencana ini, Kementerian Perindustrian mengusulkan revisi besaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil sedan. Usulan itu masih dibahas oleh Kementerian Keuangan. Jika terealisasi, nantinya Indonesia punya peluang ekspor mobil sedan ke Australia hingga 1,3 juta unit.
Adapun, ekspor mobil SUV dan MPV Indonesia sebesar 300 ribu unit per tahun. Jumlah ini jauh tertinggal dibanding ekspor mobil Thailand yang mencapai 1 juta unit per tahun.
Bidik Pertumbuhan 5,4 PersenKemenperin menargetkan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 5,4 persen pada tahun depan. Target tersebut lebih rendah ketimbang proyeksi realisasi tahun ini yang sebesar 5,6 persen.
Menurut Airlangga, target pertumbuhan yang lebih rendah disesuaikan dengan kondisi ekonomi global saat ini. Apalagi, pertumbuhan ekonomi dunia juga diproyeksi tumbuh lebih lambat.
"Saya pikir, kita perlu meluruskan norma baru dimana pertumbuhan China sudah single digit. Jadi, kita harus menerima realita baru dalam situasi perekonomian baru," terang dia.
(ulf/bir)