Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom INDEF
Faisal Basri mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (
KPPU) untuk memeriksa praktik bisnis penerbangan komersial, setelah maskapai penerbangan sempat menaikkan harga
tiket pesawat. Ia
juga 'mengendus' persekongkolan di antara
maskapai penerbangan.
Hal itu tercermin dari tindakan maskapai penerbangan yang secara bersama-sama mengerek tarif pesawat terbang. Apalagi, jumlah maskapai penerbangan terjadwal kian menciut yang berpotensi membuka kerja sama tarif antar perusahaan penerbangan.
"Saya tidak menuduh. Tapi, perlu cek ke KPPU. Apakah ada potensi persekongkolan? Karena kompak begitu, satu naikkan, ya naik semua (tarifnya)," ujarnya, Senin (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menilai pasar penerbangan di Indonesia sudah memasuki fase oligopoli yang ketat. Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat memengaruhi harga.
Padahal, jika mengacu pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, oligopoli merupakan praktik usaha yang dilarang.
Indikasi oligopoli, menurut Faisal, terlihat dari minimnya maskapai penerbangan yang melayani rute-rute tertentu. Rute-rute tertentu yang dimaksud, khususnya rute di luar Jawa, yang hanya digarap oleh segelintir maskapai penerbangan.
Ia mencontohkan penerbangan langsung dari Batam ke Jakarta dianggap lebih mahal ketimbang Singapura ke Jakarta, karena hanya segelintir maskapai yang melayani rute langsung Batam-Jakarta. Sementara, harga tiket pesawat Singapura-Jakarta bisa lebih murah dibandingkan karena persaingan dengan maskapai internasional.
"Kalau Anda lihat di Indonesia, daerah tertentu sangat mahal sekali tarif penerbangannya karena penerbangan itu-itu saja. Makanya, tourism (turisme) di Indonesia terbengkalai," imbuh dia.
Namun demikian, ada faktor lain yang juga disebut-sebut sebagai penyebab mahalnya harga tiket pesawat. Yakni, harga avtur dan kebijakan pemerintah menerapkan tarif batas bawah pesawat.
Pun begitu, Faisal mengaku tak memahami alasan mahalnya harga tiket pesawat karena avtur. Sebab, seluruh Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dari PT Pertamina (Persero) sudah turun sebagai imbas dari penurunan harga minyak mentah dunia.
Dari sisi kebijakan pemerintah seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formula Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, juga tidak memberi solusi atas mahalnya harga tiket pesawat.
"Pemerintah tak boleh mendikte bisnis penerbangan, tugasnya hanya menentukan standar keselamatan saja. Mereka (maskapai) turunkan harga karena tekanan publik, bukan kebijakan pemerintah. Padahal, sumber masalah itu ya di pemerintah dengan menaikkan batas atas itu beberapa saat lalu," terang dia.
Sebelumnya, Ketua Umum INACA Ari Askhara Danadiputra mengatakan maskapai berjanji akan menurunkan tarif pesawat dalam rentang 20 persen hingga 60 persen. Keputusan itu menyusul protes netizen lewat serangkaian petisi di situs
change.org.
Askhara menyampaikan keputusan ini berlaku untuk 34 maskapai yang tergabung dalam INACA. Beberapa di antaranya Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Sriwijaya Air, dan Indonesia AirAsia.
"Kami sudah mendengar keprihatinan masyarakat atas tingginya harga tiket nasional. Dan atas bantuan atau komitmen positif dari stakeholder, kami sejak Jumat sudah menurunkan tarif harga domestik," tandas Askhara, kemarin.
(glh/bir)