Jakarta, CNN Indonesia -- PT
Pos Indonesia (Persero) mengaku kebijakan bantuan sosial (
bansos) nontunai yang mulai dilakukan sejak 2016 membuat keuangan perusahaan terganggu. Kebijakan tersebut membuat bantuan yang semula dikirim melalui layanan jasa keuangan Pos Indonesia kini digarap oleh perbankan.
Direktur Keuangan Eddi Santosa mengatakan sejak berdiri, perusahaan sangat bergantung dengan proyek pemerintah. Salah satunya program bantuan sosial.
"Jadi ketika bansos ditarik semua menjadi nontunai, dengan sendirinya likuiditas yang selalu ada ini ya ditarik," tutur Eddi, Kamis (7/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip laporan keuangan perusahaan, pendapatan perusahaan dari layanan jasa keuangan turun sejak 2016. Pada 2016, pendapatan dari layanan jasa keuangan turun 14,3 persen menjadi Rp1,11 triliun. Kemudian kembali menurun pada 2017 sebesar 13,08 persen menjadi Rp971 miliar.
Selain bansos, menurut dia, Pos Indonesia kini tak lagi mendapatkan proyek dari pemerintah berupa pengiriman berbagai barang atau dokumen Kementerian/Lembaga secara langsung. Hal itu diklaim Eddi semakin memberatkan kinerja perusahaan.
"Dulu kiriman pemerintah seperti surat dan barang-barang banyak ke kami, lalu kartu Program Keluarga Harapan (PKH) itu juga," terang Eddi.
Menurut Eddy, pendapatan dari proyek-proyek pemerintah selama ini kerap menutup selisih yang selama ini masih ditanggung perusahaan atas biaya pengiriman barang secara keseluruhan. Dengan demikian, keuangan Pos Indonesia dapat tetap positif.
Penetapan tarif pengiriman barang sendiri, menurut dia, dilakukan oleh pemerintah. Pihaknya juga tak bisa sembarangan menaikkan tarif meski masih menanggung selisih. Hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos yang merupakan revisi dari UU Nomor 6 Tahun 1984.
Namun, ia menekankan sebenarnya hal itu tak menjadi masalah selama perusahaan mengantongi pendapatan dari proyek pemerintah.
"Tarif itu kan yang menyesuaikan pemerintah dan memang sudah diatur secara universal, tapi selisihnya tidak dibayarkan pemerintah. Jadi, sudah tidak dapat subsidi selisih lalu proyek pemerintah juga kami tidak dapat langsung (lagi)," terang Eddi.
Meski demikian, Edi mengaku pihaknya sebenarnya tetap mendapatkan bantuan dari pemerintah. Hanya saja, subsidi tak menghitung selisih tarif seperti yang dilakukan pemerintah pada subsidi listrik maupun BBM.
"Ada bantuan dari pemerintah dari ini seperti hibah kan, beda dengan subsidi yang diberikan oleh misalnya PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)," jelas Eddi.
Kendati begitu, ia mengaku tak ingin berdebat lebih banyak mengenai perubahan kebijakan bansos nontunai dan penugasan langsung proyek pemerintah. Eddi menyadari Pos Indonesia selama ini terbiasa dengan zona nyaman sehingga terganggu dengan perubahan kebijakan.
"Mungkin sekarang kami waktunya lebih
fight," pungkas Eddi.
Informasi saja, secara keseluruhan laba bersih perusahaan pada 2017 turun 17,4 persen dari Rp426,9 miliar menjadi Rp355 miliar. Penurunan laba dipengaruhi oleh pendapatan perusahaan yang turun menjadi hanya Rp4,32 triliun dari Rp4,45 triliun.
(aud/agi)