Jakarta, CNN Indonesia -- Kontestasi politik bertajuk Pemilihan Presiden (
Pilpres) 2019 membuat pamor
utang pemerintah meroket pesat. Bila sebelumnya isu utang hanya dinikmati para pegiat sektor ekonomi, kini utang menjadi isu menarik untuk banyak kalangan akibat 'goreng-gorengan' politik.
Semua bermula karena nominal utang di era calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) yang menjulang tinggi. Kenaikannya selama empat tahun terakhir bahkan dituding jauh lebih tinggi dari era pemerintahan Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun.
Pada akhir 2004, ketika SBY baru menduduki kursi kepala negara, jumlah utang pemerintah sebesar Rp1.299,5 triliun. Lalu, 10 tahun berkuasa, Ketua Umum Partai Demokrat itu meninggalkan pemerintahan dengan jumlah utang mencapai Rp2.608 triliun pada 2014. Artinya, nominal utang di era SBY naik Rp1.308,5 triliun atau 100,69 persen dalam 10 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara pada era Jokowi, nominal utang menjulang hingga menyentuh angka Rp4.418 triliun pada 2018. Utang di era mantan gubernur DKI Jakarta itu naik Rp1.810 triliun atau 69,4 persen dari tahun akhir pemerintahan SBY. Secara laju pertumbuhan, peningkatan utang Jokowi memang lebih rendah ketimbang SBY. Namun, secara nominal tidak. Apalagi bila dibandingkan dengan masa kepemimpinan yang baru empat tahun.
 Anggaran infrastruktur 10 tahun terakhir. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Dalam hitungan praktis, maka bisa dikatakan penambahan rata-rata utang di era SBY sebesar Rp130,85 triliun per tahun. Sedangkan di era Jokowi sekitar Rp452 triliun per tahun. Tak heran, utang jadi senjata tajam bagi kubu calon presiden oposisi Prabowo Subianto untuk menyudutkan Jokowi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penambahan utang tentu bukan tanpa alasan. Hal ini karena kebutuhan belanja negara memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara pundi-pundi penerimaan negara tak bisa menutup 100 persen kebutuhan belanja. Walhasil, pemerintah perlu menarik utang.
Pemerintah berdalih semua itu dilakukan untuk memastikan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat bisa dijamin oleh negara. "Pertambahan utang adalah hasil dari keseluruhan desain kebijakan fiskal kami. Ini agar masyarakat miskin bisa dilindungi ketika ekonomi terkena guncangan," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Dari sisi pembangunan, pemerintah turut menggunakan utang untuk berbagai proyek infrastruktur. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah utang, memang alokasi anggaran yang diberikan pemerintah untuk proyek infrastruktur meningkat.
 (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyia) |
Jokowi pernah mengatakan kebijakan yang sengaja menggenjot pembangunan infrastruktur dilakukan karena Indonesia sudah ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga dalam hal penyediaan infrastruktur dasar. Selain itu, infrastruktur merupakan kunci untuk bisa mendorong pertumbuhan industri hingga ekonomi nasional.
Sementara dari sisi pelayanan, pemerintah juga perlu menambah jumlah anggaran pos ini, misalnya untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Data mencatat, memang jumlah anggaran kedua pos itu naik cukup signifikan di era Jokowi.
Kritik Prabowo
Besarnya utang di era Jokowi pun tak lepas dari kritikan lawan politiknya. Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno beberapa kali mengkritik utang di era Jokowi. Dikutip dari akun
Twitter pribadinya, Prabowo Subianto bahkan menjanjikan pembangunan infrastruktur tanpa utang. Pembangunan infrastruktur tersebut mencakup infrastruktur penunjang ekonomi di daerah-daerah perdesaan di Indonesia.
"Negara yang bisa memiliki pembangunan infrastruktur demi menunjang ekonomi di desa-desa tanpa bergantung oleh utang luar negeri. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hasil produksi kita akan meningkat," cuit Prabowo beberapa waktu lalu.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan pertambahan utang di era Jokowi memang tinggi, tetapi hal terpenting yang harus dilakukan dalam menilai utang adalah melihat seberapa efektif penggunaan utang tersebut. "Kalau melihat dari sisi pemanfaatan utang, sisi infrastruktur dan peningkatan produktivitas itu ada hasilnya," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.Dari sektor infrastruktur, pemerintahan Jokowi berhasil membangun jalan nasional sepanjang 3.432 kilometer (km), jalan tol 941 km, jembatan 39,8 km, jembatan gantung 134 unit, 17 bendungan, irigasi seluas 655.015 hektare, jalur ganda dan reaktivasi jalur kereta sepanjang 754,59 km, dan rehabilitasi jalur kereta 413,6 km.
Lalu, ada tambahan 10 bandara baru, revitalisasi dan pengembangan 408 bandara di daerah rawan bencana, terisolasi, dan perbatasan. Kemudian, pemerintah juga sudah membangun 19 pelabuhan. Tak ketinggalan, pemerintah juga membangun 3,54 juta rumah bagi masyarakat dari program 1 juta rumah setiap tahunnya. Selain itu ada pula pembangunan 44.893 unit rumah susun, 22.358 unit rumah khusus, dan 496.165 rumah swadaya.
Menurut Telisa, bila dibandingkan dengan pemerintahan SBY, maka tak heran bila pertambahan utang di era Jokowi meningkat. Sebab, dari sisi pembangunan infrastruktur fisik memang lebih terasa hasilnya, di mana lebih banyak hasil pembangunan fisik infrastruktur yang terasa. Sebagai pembanding, jalan tol yang dibangun selama empat tahun Jokowi memimpin sudah bertambah sepanjang 423,17 km, sementara 10 tahun SBY berkuasa hanya 300 km.
Meski begitu, memang perbandingan jumlah utang dari kedua presiden tidak bisa dibandingkan secara langsung karena tidak benar-benar sama kelasnya (apple to apple). Penggunaan anggaran di era SBY sejatinya lebih banyak untuk subsidi, sementara Jokowi ke infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Ekonom UI lainnya, Fithra Faisal melihat penggunaan utang di era Jokowi memang lebih terasa hasilnya berupa pembangunan infrastruktur secara masif. Namun, dampak pembangunan belum benar-benar terasa pada pertumbuhan ekonomi.
Ia mengakui angka kemiskinan di era Jokowi berhasil mencetak sejarah baru bagi Indonesia, hanya satu digit sekitar 9,66 persen. Selain itu, angka pengangguran juga mengalami perbaikan, hanya tinggal 5,13 persen. Namun, dalam empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia mentok di kisaran 5 persen atau paling tinggi 5,17 persen pada 2018, jauh dari target Jokowi di awal pemerintah sebesar 7 persen.
"Hal ini tak lepas dari kecakapan pemerintah teknis untuk turut mengelola anggaran yang didapat, baik dari utang maupun tidak, agar bisa memberikan dampak yang lebih besar ke perekonomian," katanya.
Sementara Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah tak menampik ada jalan untuk membangun infrastruktur tanpa utang seperti yang dijanjikan Prabowo. Namun, menurut dia, pembangunan infrastruktur tak bisa dilakukan secara masif.
"Tanpa utang, tentu yang paling realistis dilakukan adalah mengurangi pembangunan infrastruktur. Harus ada yang dikorbankan dari segi anggaran," ujar Piter.
Jika tetap memaksakan pembangunan infrastruktur tanpa harus berutang, menurut dia, pemerintah harus rela memangkas anggaran lain. Namun, hal ini harus dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai, menurut dia, realokasi belanja mencederai hak masyarakat di dalam APBN.
Ia mengutip pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebut bahwa APBN harus menjadi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dengan fungsi distribusi, artinya seluruh masyarakat berhak mendapat kue APBN secara proporsional, di mana fungsi ini tercermin di dalam pos anggaran seperti bantuan sosial (bansos).
Bersambung ke halaman berikutnya....
Selain posisi utang yang menjulang, jenis utang di era Presiden Joko Widodo juga kerap jadi 'cibiran' lantaran mantan wali kota Solo itu lebih suka menarik utang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang pendahulunya, SBY yang berupa pinjaman bilateral dan multilateral.
Terkait hal ini, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai perbedaan dominasi jenis utang antara kedua kepala negara memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Misalnya, ketika Jokowi lebih suka menerbitkan SBN, sebenarnya ada sisi positifnya, yaitu pendalaman pasar keuangan. Tujuannya, agar utang yang ditarik pemerintah tidak semata-mata berasal dari luar negeri saja, namun dari masyarakat sendiri.
Untuk itu, pemerintah kian rajin menerbitkan surat utang ritel yang menyasar masyarakat dengan minimal pembelian dari kisaran Rp1 juta. Selain itu, inovasi penjualan surat utang juga dibuat lebih baik, seperti menggandeng para perusahaan teknologi berbasis jasa keuangan (
financial technology/fintech) yang terasa lebih dekat dengan para generasi muda.
Tujuannya lagi-lagi demi pendalaman pasar keuangan agar masyarakat Indonesia juga mulai sadar investasi sedari muda. "Penerbitan SBN turut melibatkan swasta dan masyarakat, artinya pemerintah ingin sumber utang juga lebih independen dan ada diversifikasi, serta pendalaman pasar keuangan," ungkapnya.
Sementara sisi negatifnya, memang ada risiko pemerintah membayar imbal hasil
(yield) yang lebih tinggi bagi para pemegang surat utang pemerintah. Pada tahun lalu misalnya, yield yang ditawarkan berada dikisaran 8 persen untuk tenor 10 tahun. Suku bunga ini turut dipengaruhi kondisi ekonomi global dan bunga acuan BI yang merangkak naik.
Sedangkan di era SBY, penarikan utang lebih banyak menggunakan pinjaman bilateral dan multilateral. Dari sisi kelebihan, memang risiko pengembalian bunga utang bisa dinegosiasikan lebih rendah karena sifatnya pinjaman antar negara dan tidak ditentukan oleh mekanisme pasar.
"Tapi pinjaman itu kerap ada perjanjian, persyaratan khusus, dan message khusus dari pendonor. Ini syarat kurang independen, misalnya dari IMF, ada syarat berupa misi apa yang harus dilakukan," jelasnya.
Senada, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kekurangan penarikan utang di era Jokowi terletak pada penawaran yang lebih tinggi. Hal ini akan membuat pemerintah menanggung beban pembayaran pokok utang dan bunga utang yang lebih besar. Pada APBN 2018 saja misalnya, pembayaran utang sudah mencapai Rp258,1 triliun atau 108,2 persen dari target awal.
"Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," terangnya.
Cara Jokowi Kelola UtangDalam mengelola utang, Jokowi menunjuk Sri Mulyani Indrawati selaku bendahara negara. Sri Mulyani bukan orang baru dalam mengelola utang. Ia pernah dipercaya sebelumnya di era SBY.
Menurut Telisa, pengelolaan utang ditangan Sri Mulyani cukup menjanjikan. Meski utang terus bertambah, rasionya tetap bisa dijaga di bawah 30 persen. Namun, penarikan utang yang masih terus dilakukan dalam jumlah besar memberi indikasi bahwa pemerintah masih belum bisa menggenjot penerimaan negara secara maksimal, khususnya dari pajak.
Pada APBN 2018, penerimaan negara memang melebihi target awal, yaitu Rp1.942,3 triliun dari Rp1.894,7 triliun. Kantong negara kelebihan sekitar 2,5 persen pada tahun lalu. Namun, bila dibedah, penerimaan perpajakan hanya terisi Rp1.521,4 triliun atau 94 persen dari target. Hal ini karena penerimaan pajak hanya sekitar Rp1.315,9 triliun atau 92 persen dari target Rp1.424 triliun. Padahal penerimaan bea dan cukai tokcer mencapai 105,8 persen dari target.
Maka tak heran, rasio pembayar pajak
(tax ratio) di Indonesia masih di bawah 11 persen. Kebijakan reformasi perpajakan yang sebelumnya direncanakan melalui pembenahan administrasi, penggunaan teknologi, hingga kerja sama internasional belum maksimal menarik minta masyarakat untuk aktif menyetor pajak kepada negara.
"Belum lagi soal kebocoran perpajakan, pemerintah perlu melihat lagi, misalnya melihat bagaimana penerimaan sumber daya alam dari asing. Reformasi harus benar-benar dilakukan," tuturnya.
Pemerintah juga dinilai belum mampu 'membujuk' para pelaku sektor usaha informal untuk turut menyumbang pajak kepada negara. Padahal, skema pajak yang ditawarkan sudah cukup menarik, hanya 0,5 persen dan bersifat final.
Kendati begitu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai pengelolaan utang di era Jokowi sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari jumlah pembiayaan utang yang perlahan-lahan terus turun setiap tahunnya. Artinya, meski pemerintah masih perlu utang, ketergantungannya perlahan diturunkan.
Ia mencontohkan, jumlah pembiayaan utang pada APBN 2017 sebesar Rp42,1 triliun. Sementara pada APBN 2018, Sri Mulyani hanya menarik utang sekitar Rp366,7 triliun. Meski pembayaran bunga utang naik dari Rp216,6 triliun pada 2017 menjadi Rp258,1 triliun pada 2018, hal tersebut terutama dipengaruhi gejolak pada kondisi ekonomi tahun lalu terutama pelemahan nilai tukar. Walhasil, pembayaran bunga utang pun jadi lebih mahal.
Meski begitu, setidaknya dengan pelaksanaan APBN yang masih bergantung pada utang, namun pemerintah tetap bisa menjaga defisit anggaran dan keseimbangan primernya. Tercatat, defisit anggaran hanya 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan keseimbangan primer minus Rp1,8 triliun per 2 Januari 2019.
Defisit anggaran tak sampai proyeksi awal sebesar 2,19 persen dari PDB. Begitu pula dengan keseimbangan primer yang diperkirakan bakal bengkak hingga minus Rp87,3 triliun.
"Ini artinya pertambahan utang dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemerintah juga tidak pernah kelabakan yang tidak bisa membayar cicilan pokok dan bunga," pungkas dia.