Selain posisi utang yang menjulang, jenis utang di era Presiden Joko Widodo juga kerap jadi 'cibiran' lantaran mantan wali kota Solo itu lebih suka menarik utang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang pendahulunya, SBY yang berupa pinjaman bilateral dan multilateral.
Terkait hal ini, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai perbedaan dominasi jenis utang antara kedua kepala negara memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Misalnya, ketika Jokowi lebih suka menerbitkan SBN, sebenarnya ada sisi positifnya, yaitu pendalaman pasar keuangan. Tujuannya, agar utang yang ditarik pemerintah tidak semata-mata berasal dari luar negeri saja, namun dari masyarakat sendiri.
Untuk itu, pemerintah kian rajin menerbitkan surat utang ritel yang menyasar masyarakat dengan minimal pembelian dari kisaran Rp1 juta. Selain itu, inovasi penjualan surat utang juga dibuat lebih baik, seperti menggandeng para perusahaan teknologi berbasis jasa keuangan (
financial technology/fintech) yang terasa lebih dekat dengan para generasi muda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuannya lagi-lagi demi pendalaman pasar keuangan agar masyarakat Indonesia juga mulai sadar investasi sedari muda. "Penerbitan SBN turut melibatkan swasta dan masyarakat, artinya pemerintah ingin sumber utang juga lebih independen dan ada diversifikasi, serta pendalaman pasar keuangan," ungkapnya.
Sementara sisi negatifnya, memang ada risiko pemerintah membayar imbal hasil
(yield) yang lebih tinggi bagi para pemegang surat utang pemerintah. Pada tahun lalu misalnya, yield yang ditawarkan berada dikisaran 8 persen untuk tenor 10 tahun. Suku bunga ini turut dipengaruhi kondisi ekonomi global dan bunga acuan BI yang merangkak naik.
Sedangkan di era SBY, penarikan utang lebih banyak menggunakan pinjaman bilateral dan multilateral. Dari sisi kelebihan, memang risiko pengembalian bunga utang bisa dinegosiasikan lebih rendah karena sifatnya pinjaman antar negara dan tidak ditentukan oleh mekanisme pasar.
"Tapi pinjaman itu kerap ada perjanjian, persyaratan khusus, dan message khusus dari pendonor. Ini syarat kurang independen, misalnya dari IMF, ada syarat berupa misi apa yang harus dilakukan," jelasnya.
Senada, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kekurangan penarikan utang di era Jokowi terletak pada penawaran yang lebih tinggi. Hal ini akan membuat pemerintah menanggung beban pembayaran pokok utang dan bunga utang yang lebih besar. Pada APBN 2018 saja misalnya, pembayaran utang sudah mencapai Rp258,1 triliun atau 108,2 persen dari target awal.
"Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," terangnya.
Cara Jokowi Kelola UtangDalam mengelola utang, Jokowi menunjuk Sri Mulyani Indrawati selaku bendahara negara. Sri Mulyani bukan orang baru dalam mengelola utang. Ia pernah dipercaya sebelumnya di era SBY.
Menurut Telisa, pengelolaan utang ditangan Sri Mulyani cukup menjanjikan. Meski utang terus bertambah, rasionya tetap bisa dijaga di bawah 30 persen. Namun, penarikan utang yang masih terus dilakukan dalam jumlah besar memberi indikasi bahwa pemerintah masih belum bisa menggenjot penerimaan negara secara maksimal, khususnya dari pajak.
Pada APBN 2018, penerimaan negara memang melebihi target awal, yaitu Rp1.942,3 triliun dari Rp1.894,7 triliun. Kantong negara kelebihan sekitar 2,5 persen pada tahun lalu. Namun, bila dibedah, penerimaan perpajakan hanya terisi Rp1.521,4 triliun atau 94 persen dari target. Hal ini karena penerimaan pajak hanya sekitar Rp1.315,9 triliun atau 92 persen dari target Rp1.424 triliun. Padahal penerimaan bea dan cukai tokcer mencapai 105,8 persen dari target.
Maka tak heran, rasio pembayar pajak
(tax ratio) di Indonesia masih di bawah 11 persen. Kebijakan reformasi perpajakan yang sebelumnya direncanakan melalui pembenahan administrasi, penggunaan teknologi, hingga kerja sama internasional belum maksimal menarik minta masyarakat untuk aktif menyetor pajak kepada negara.
"Belum lagi soal kebocoran perpajakan, pemerintah perlu melihat lagi, misalnya melihat bagaimana penerimaan sumber daya alam dari asing. Reformasi harus benar-benar dilakukan," tuturnya.
Pemerintah juga dinilai belum mampu 'membujuk' para pelaku sektor usaha informal untuk turut menyumbang pajak kepada negara. Padahal, skema pajak yang ditawarkan sudah cukup menarik, hanya 0,5 persen dan bersifat final.
Kendati begitu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai pengelolaan utang di era Jokowi sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari jumlah pembiayaan utang yang perlahan-lahan terus turun setiap tahunnya. Artinya, meski pemerintah masih perlu utang, ketergantungannya perlahan diturunkan.
Ia mencontohkan, jumlah pembiayaan utang pada APBN 2017 sebesar Rp42,1 triliun. Sementara pada APBN 2018, Sri Mulyani hanya menarik utang sekitar Rp366,7 triliun. Meski pembayaran bunga utang naik dari Rp216,6 triliun pada 2017 menjadi Rp258,1 triliun pada 2018, hal tersebut terutama dipengaruhi gejolak pada kondisi ekonomi tahun lalu terutama pelemahan nilai tukar. Walhasil, pembayaran bunga utang pun jadi lebih mahal.
Meski begitu, setidaknya dengan pelaksanaan APBN yang masih bergantung pada utang, namun pemerintah tetap bisa menjaga defisit anggaran dan keseimbangan primernya. Tercatat, defisit anggaran hanya 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan keseimbangan primer minus Rp1,8 triliun per 2 Januari 2019.
Defisit anggaran tak sampai proyeksi awal sebesar 2,19 persen dari PDB. Begitu pula dengan keseimbangan primer yang diperkirakan bakal bengkak hingga minus Rp87,3 triliun.
"Ini artinya pertambahan utang dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemerintah juga tidak pernah kelabakan yang tidak bisa membayar cicilan pokok dan bunga," pungkas dia.
(uli/agi)