Walau secara keseluruhan performa pabrik kantong plastik dan daur ulang kantong plastik masih baik-baik saja saat ini, General Manager Batu Mas Murni Justin Wiganda tak menampik bahwa ia dan pelaku usaha di sektor kantong plastik sedang dilanda kekhawatiran tinggi dengan nasib industri ke depannya.
Bagaimana tidak, setelah sejumlah daerah seperti Bogor, Banjarmasin, dan Bali melarang penggunaan kantong plastik, kini DKI Jakarta juga sedang memfinalisasi aturan pembatasan plastik dan denda yang akan diberikan.
Selain itu, peritel berupaya mengurangi penggunaan kantong plastik dengan memberikan harga jual ke konsumen minimal Rp200 per helai. Belum lagi, rencana penerapan cukai plastik juga semakin menekan industri kantong plastik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sekarang memang tidak terasa, tapi jangka panjang kalau suasana terus seperti ini ya akan berdampak buruk," ungkap Justin.
Ia mencontohkan, pengusaha kerap membutuhkan dana untuk ekspansi dan tak jarang meminjam dari perbankan. Jika pemerintah terus melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik demi mengurangi penggunaan barang tersebut, bisa saja pihak bank menganggap industri plastik kini sedang tak sehat.
"Misalnya ya ada yang mau pinjam uang ke bank, eh pihak bank dengar berita-berita plastik ini. Terus mereka pikir nanti ke depan bagaimana ini industri plastik karena sekarang saja lagi dikurangi. Ya sudah tidak jadi dipinjamkan uang," papar Justin.
Bila ilustrasi itu benar-benar terjadi, bukan hanya industri plastik yang perlahan mati, tapi juga dampaknya secara luas ke ekonomi dalam negeri. Bukan apa-apa, masalahnya karyawan pabrik plastik jumlahnya bisa mencapai puluh ribu.
"Kalau pabrik-pabrik yang di Pulau Jawa saja ya, itu setahu saya satu pabrik bisa sampai 1.000 orang. Kalau di tempat saya memang masih 100 orang. Nah itu kan mereka mau kerja apa nanti kalau industri ini mati," ucap Justin.
Jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, tentu jumlah pengangguran semakin banyak. Daya beli masyarakat pun ikut tergerus. Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Makanya pemerintah tuh jangan hanya lihat satu sisi, banyak sisi. Lagi pula kantong plastik bisa didaur ulang, jadi mereka memang jadi sampah tapi setelah itu bisa digunakan kembali," tutur Justin.
Ia juga beranggapan berbagai upaya pemerintah dan peritel itu tak pernah bisa menekan sampah plastik bila pengelolaan sampah tidak diperbaiki. Bank sampah yang diharapkan bisa menjadi salah satu solusi memperbaiki sampah juga tak efektif hingga saat ini.
"Industri plastik sebenarnya memikirkan ketika memproduksi kantong plastik, nanti sampahnya untuk apa ini. Makanya ada industri daur ulang, itu sudah kami pikirkan dulu dengan pelaku plastik lain," tegas Justin.
![]() |
Sayang, pemerintah bukannya mendorong industri daur ulang sampah kantong plastik, tapi kemudahan bisnis pun tak pernah diberikan. Padahal, pelaku usaha daur ulang telah beberapa kali meminta insentif fiskal berupa potongan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Industri daur ulang kan kena PPN, jadi ada beban yang ditanggung dari biji plastik yang dijual. Bagaimana industri ini maju kalau tidak ada dukungan dari pemerintah," cerita Justin.
Selama ini, industri daur ulang memang dikenakan PPN mencapai 10 persen. Tahun lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah mengusulkan untuk menurunkan PPN sebesar 5 persen guna mengurangi beban perusahaan daur ulang. Namun, belum ada proses lebih lanjut dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai hal ini.
Justin yang juga menjadi salah satu anggota di Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) melihat pemerintah tak adil karena hanya menekan industri kantong plastik untuk mengurangi sampah plastik. Sementara, pemerintah tak melarang penggunaan botol atau kemasan plastik yang biasanya digunakan untuk membungkus makanan instan.
"Kenapa hanya kantong plastik, kalau saya lihat karena industri kantong plastik yang memang mudah dijadikan target. Tapi coba perusahaan-perusahaan besar yang juga menggunakan bahan baku plastik tidak ada pelarangan tuh," terang Justin.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengamini pendapat Justin terkait kebijakan plastik berbayar yang diberlakukan oleh pengusaha ritel modern. Masalahnya, harga yang ditawarkan minimal hanya Rp200 per helai.
Bagi masyarakat kelas menengah dan menengah ke atas yang doyan belanja di toko ritel modern, harga itu bukanlah menjadi soal. Kemampuan beli di kelas masyarakat itu masih mampu menjangkau harga kantong plastik yang dijajakan di toko ritel.
"Jadi dihargai Rp200 per helai ya tidak ada masalah untuk konsumen ritel, mereka tetap akan beli kok kalau butuh," ujar Fajar.
Contoh nyata, sambungnya, penggunaan kantong plastik tak berkurang ketika peritel mengimplementasikan kebijakan plastik berbayar pada 2016 lalu. Pangkal masalah dari menumpuknya sampah di Indonesia karena kebiasaan masyarakat yang membuangnya tidak pada tempat yang disediakan.
"Kalau tidak pernah ada kesadaran dari masyarakat ya masalah sampah tidak akan tercapai. Jangan industri plastik terus yang disalahkan," tegas Fajar.
Makanya, ia menilai keputusan Aprindo terkait plastik berbayar bukan murni untuk mengatasi sampah plastik. Kebijakan dilakukan hanya untuk mencari keuntungan semata. Apalagi, penerapan kebijakan plastik berbayar tidak mempunyai landasan hukum yang jelas.
Sementara, Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin Taufiek Bawazier meramalkan kebijakan plastik berbayar bisa saja mengurangi cuan yang dihasilkan oleh pelaku usaha kantong plastik, baik yang memproduksi maupun mendaur ulang. Namun, ia akan melakukan evaluasi dalam tiga bulan ke depan setelah toko ritel benar-benar memberikan harga jual pada kantong plastik.
Seperti diketahui, Aprindo memberlakukan kebijakan plastik berbayar mulai 1 Maret 2019. Hanya saja, dari pantauan CNNIndonesia.com pada hari itu, Indomaret, Alfamart, Carrefour, dan Hypermart belum ada yang menerapkan karena masih melakukan sosialisasi kepada konsumen.
"Poinnya, kebijakan ini (plastik berbayar) akan mendistorsi pertumbuhan industri plastik nasional dan tidak membuat daya saing ke arah yg lebih baik," ucap Taufiek.
Ia mengungkapkan rata-rata produksi dan penyerapan kantong plastik di Indonesia sebanyak 350 ribu ton per tahun. Penjualan kantong plastik pun dinilai memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi.
Data Kementerian Perindustrian, industri plastik dan karet menyumbang Rp92,7 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang tahun lalu. Sumbangan tersebut meningkat 6,92 persen dari posisi 2017.
"Jika industri plastik diganggu dengan keputusan yang tidak sejalan dengan kemajuannya, maka upaya meningkatkan PDB dan pajak dari sektor plastik juga akan terganggu," pungkas Taufiek.
(agi)