Jakarta, CNN Indonesia -- Awan mendung tampak menyelimuti kondisi keuangan sejumlah perusahaan yang berada di bawah naungan
Bakrie Group beberapa tahun belakangan ini. Salah satunya menyelimuti cucu usaha Grup Bakrie,
Lapindo Brantas Inc dan PT
Minarak Lapindo Jaya.Perusahaan tersebut memiliki utang kepada pemerintah terkait dana talangan untuk menangani ganti rugi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Jumlahnya mencapai Rp773,38 miliar. Namun, Lapindo Brantas Inc dan Minarak Lapindo Jaya baru membayar Rp5 miliar. Sebagai informasi Lapindo Brantas merupakan anak usaha dari PT Energi Mega Persada Tbk, satu dari empat perusahaan sektor tambang yang berafiliasi dengan Grup Bakrie.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip laporan keuangan terakhirnya, total kewajiban atau liabilitas Energi Mega Persada pada kuartal I 2019 sebesar US$667,34 juta atau setara Rp9,34 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat).
Jika diurutkan dalam lima tahun terakhir, jumlah liabilitas Energi Mega Persada memang sudah lebih baik. Pasalnya pada 2015 lalu, beban perusahaan sempat menyentuh angka US$1,31 miliar atau Rp18,35 triliun.
Sejalan dengan itu, laba bersih perusahaan meningkat dari US$1,09 juta atau Rp15,32 miliar menjadi US$7,54 juta atau Rp105,57 miliar.
Namun, nasib baik baik itu rupanya tak menular ke perusahaan pertambangan Grup Bakrie lainnya. PT Bumi Resources Tbk misalnya, pendapatan perusahaan turun dari US$310,47 juta atau Rp4,34 triliun menjadi tinggal US$234,15 juta atau Rp3,27 triliun.
Walhasil, laba bersih perusahaan itu amblas
46,27 persen. Bila pada kuartal I 2018, Bumi Resources mengantongi laba bersih US$90,15 juta atau Rp1,26 triliun, tiga bulan pertama tahun ini hanya US$48,44 juta atau Rp678,16 miliar.
 (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Penurunan kinerja juga terjadi di sektor media, khususnya PT Inter Media Capital Tbk. Laba bersih perusahaan anjlok dari yang sebelumnya sebesar Rp99,57 miliar menjadi hanya Rp17,84 miliar.
Hal itu disebabkan pendapatan Inter Media Capital yang juga melorot dari Rp498,11 miliar menjadi Rp346,56 miliar. Di tengah penurunan pendapatan dan laba tersebut, beban utang perusahaan juga meningkat.
Pada kuartal I 2018 jumlahnya sebesar Rp2,72 triliun. Lalu, pada periode yang sama tahun ini nominalnya naik 15,3 persen menjadi Rp3,14 triliun.
[Gambas:Video CNN]
Walau demikian, keuangan Inter Media Capital tetap bisa dikatakan lebih baik dibandingkan dengan PT Visi Media Asia Tbk yang merugi pada kuartal I 2019 sebesar Rp90,44 miliar. Ditambah, utang perusahaan juga bertambah dari Rp5,28 triliun menjadi Rp6,75 triliun.
Kian MerugiBuruknya kinerja Grup Bakrie semakin terlihat pada PT Bakrie Telecom Tbk. Perusahaan berbasis teknologi ini merugi dalam lima tahun berturut-turut.
Bakrie Telecom mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp133,72 miliar pada kuartal I 2019. Pendapatan perusahaan juga turun dari Rp997 juta menjadi Rp910 juta.
Chief Financial Officer Bakrie Telecom Aditya Irawan mengatakan perusahaan masih akan merugi sepanjang tahun ini. Pasalnya, masih ada beban utang yang harus dibayar setiap tahun.
"Mungkin masih rugi karena masih ada utang akrual bunga itu cukup besar, jadi diperkirakan masih rugi," kata Aditya, Selasa (9/7).
Perusahaan juga belum bisa merealisasikan rencana bisnis barunya untuk menyediakan jaringan untuk televisi digital karena masih menunggu pemerintah merampungkan revisi Undang-Undang (UU) tentang Penyiaran.
Meskipun mayoritas perusahaan Grup Bakrie mencetak kinerja buruk, terdapat sejumlah perusahaan yang mampu memperbaiki keuangannya. Di sektor perkebunan, ada PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk yang berhasil mengantongi keuntungan sebesar Rp33,59 miliar selama tiga bulan pertama tahun ini.
Realisasi itu berbanding terbalik dengan posisi kuartal I 2018 lalu, di mana perusahaan masih merugi sebesar Rp387,75 miliar. Sejalan dengan itu, pendapatan Bakrie Sumatera Plantations naik dari Rp305,28 miliar menjadi Rp479,06 miliar.
Kemudian, PT Bakrieland Development Tbk juga mencatatkan keuntungan pada kuartal I 2018 sebesar Rp3,11 triliun. Sebelumnya, perusahaan membukukan rugi bersih Rp5,12 miliar.
Beban utang Bakrieland Development pun terlihat lebih baik pada kuartal I 2018 lalu. Jumlahnya turun dari Rp7,66 triliun menjadi Rp4,07 triliun. Sayangnya, perusahaan berbasis properti ini belum merilis laporan keuangan periode kuartal I 2019.
 (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Kinerja yang cukup baik juga bisa dilihat dari realisasi keuntungan yang diraup PT Bakrie & Brothers Tbk sebesar Rp36,78 miliar per kuartal I 2019. Padahal, sebelumnya masih tercatat rugi bersih sebesar Rp336,71 miliar.
Namun demikian, perusahaan belum mampu menekan utangnya secara signifikan pada awal 2019. Jumlahnya saat ini sebesar Rp11,81 triliun, dari segi persentase memang turun tapi tak jauh beda dengan posisi kuartal I 2015 yang sebesar Rp13,29 triliun.
[Gambas:Video CNN]
Pengaruh Kinerja ke Utang LapindoBeban utang dan keuntungan tak seberapa perusahaan Grup Bakrie mau tak mau mempengaruhi kemampuan Lapindo Brantas dalam membayar utangnya kepada pemerintah.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan Lapindo Brantas bisa saja meminjam dana kepada perusahaan lain yang masih memiliki darah Bakrie untuk menutupi utangnya. Namun, jika 'saudaranya' masih memiliki utang segunung dan kinerja yang negatif, maka kecil kemungkinan perusahaan Grup Bakrie lain bisa membantu.
"Ada pengaruh karena ini perusahaan saling terhubung. Praktik umum perusahaan Bakrie itu kan utang-utang anak perusahaan lain walaupun tidak saling terkait tapi itu digunakan saling menutup utang," ungkap Fitra kepada
CNNIndonesia.com.Ia menilai sulit bagi Bakrie mengganti dana talangan pemerintah yang digunakan untuk menangani ganti rugi korban lumpur Lapindo 100 persen. Jika dibayar, potensinya maksimal hanya seperempat dari total utang.
"Sulit dibayar kalau melihat sejarah Grup Bakrie. Citranya buruk sekali di pasar," terang Fitra.
 (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Sementara itu, Analis BCA Sekuritas Achmad Yaki mengatakan praktik secara umum di dunia usaha sebenarnya tak masalah jika beberapa perusahaan berniat membantu pembayaran utang perusahaan lain yang masih berada di bawah satu grup yang sama.
Hanya saja, bantuan itu bisa dilakukan melalui alur atau skema yang tepat. Tidak bisa asal memberikan dana tunai begitu saja. Terlebih, jika perusahaan-perusahaan itu tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kalau perusahaan terbuka setiap aksi korporasi wajib meminta izin pemegang saham bisa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Apalagi untuk penggunaan laba," kata Achmad.
Namun, jika sedari awal penanggung jawab atas utang perusahaan dituliskan di surat perjanjian akan ditanggung oleh beberapa perusahaan yang berada di bawah grup yang sama, maka tak perlu lagi meminta izin pemegang saham.
"Apakah kewajibannya tanggung renteng atau hanya ke induk grup nya atau ke perusahaan itu saja. Kalau tanggung renteng ya sama-sama sesuai pembebanan," jelasnya.
Khusus untuk Grup Bakrie, Achmad enggan mengomentari apakah bantuan utang Lapindo Brantas bisa dibantu oleh perusahaan Grup Bakrie lain melalui permohonan izin kepada pemegang saham, ketika keuangan 'anak Bakrie' lainnya juga tak bisa dikatakan sehat.
"Nah itu saya tidak tahu," pungkas Achmad.