ANALISIS

Butuh Kencangkan Ikat Pinggang Agar Utang Negara Tak Menumpuk

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 17 Jul 2019 16:47 WIB
Pemerintah memproyeksi defisit APBN hingga akhir tahun ini melampaui target dan dapat berdampak pada kebutuhan penarikan utang lebih besar.
Ilustrasi. (REUTERS/Nyimas Laula).
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerimaan negara tampaknya tidak akan kembali mencapai target tahun ini. Kementerian Keuangan memprediksi penerimaan negara hingga akhir tahun ini sebesar Rp2.030,8 triliun atau 93,8 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yakni Rp2.165,1 triliun.

Kondisi ini berbeda dibanding tahun lalu. Penerimaan negara tahun lalu tercatat Rp1.943,7 triliun atau 102,6 persen dari rencana semula Rp1.894,4 triliun.

Sudah pasti, biang keladi atas turunnya penerimaan negara tahun ini adalah pajak. Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan meramal penerimaan pajak hingga akhir tahun ada di angka Rp1.437,53 triliun, atau 91,22 persen dari target Rp1.577,55 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan kata lain, penerimaan pajak hingga akhir tahun akan mengalami kekurangan (shortfall) mencapai Rp140 triliun. Shortfall ini melebar 29,51 persen dibandingkan tahun lalu sebesar Rp108,1 triliun.

Walhasil, kurangnya penerimaan ini akan bikin defisit APBN di tahun ini melebar dari target 1,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1,93 persen dari PDB.


Ciutnya penerimaan bikin pemerintah perlu memutar otak untuk mendanai belanja. Salah satu opsinya, tentu adalah menambah utang. Kemenkeu sendiri menaksir realisasi utang netto di akhir tahun bisa mencapai Rp310,8 triliun atau lebih besar dari target Rp296 triliun.

Namun, sebenarnya masih ada ruang bagi pemerintah untuk membenahi kondisi besar pasak daripada tiang ini.

Ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan pemerintah memang harus merelakan asa dari penerimaan pajak karena memang kondisi ekonomi yang tengah tidak stabil. Hal ini terkonfirmasi dari kinerja Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PPh badan, misalnya, hingga pertengahan tahun ini baru terkumpul Rp123,97 triliun atau hanya tumbuh 3,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi PPN sebesar Rp212,3 triliun malah turun 2,7 persen dibanding tahun sebelumnya, antara lain akibat kebijakan restitusi yang dipercepat di awal tahun.

"Jadi memang pertumbuhan ekonomi yang masih tertahan di 5 persen ini cukup mempengaruhi penerimaan. Itulah yang menjadi tantangan di sisi pajak tahun ini," jelas Eric.


Meski pajak tak bisa diandalkan, pemerintah juga tak bisa menggantungkan hidup dari penerimaan lain. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) contohnya, tak akan membantu lantaran besarannya sangat tergantung dengan kondisi eksternal, seperti harga batu bara atau minyak mentah.

Kendati demikian, Kemenkeu masih menaksir PNBP akan tembus Rp386,3 triliun atau 102,1 persen dari targetnya yakni Rp378,3 triliun. Hanya saja, tambahan PNBP sebesar Rp8 triliun tentu tidak sebanding dengan shortfall pajak Rp140 triliun.

Dengan demikian, pemerintah perlu cari cara lain agar defisit tetap bisa terkendali. Jalan paling optimal, lanjut Eric, adalah pemangkasan belanja.

Menurut dia, belanja adalah hal yang paling bisa dikendalikan oleh pemerintah ketimbang penerimaan. Maka dari itu, pemerintah bisa menyortir lagi belanja yang sekiranya berpotensi mubazir, seperti belanja barang.

Belanja barang adalah pengeluaran bagi barang dan jasa yang masa manfaatnya habis di satu tahun anggaran, mencakup kebutuhan operasional seperti perjalanan dinas aparatur negara. Pada semester pertama tahun ini, realisasi pertumbuhannya mencapai 12,12 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

"Dan kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, memang yang dilakukan pemerintah jika ada risiko membesarnya defisit adalah dengan mengurangi atau menunda belanja," ujar dia.
[Gambas:Video CNN]
Hal itu pun diamini oleh Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Menurut dia, risiko defisit yang melebar perlu dirasionalisasi dengan pengetatan pada sejumlah pos belanja.

Menurut dia, potensi defisit yang melebar ini tak lepas dari gelontoran belanja yang deras di awal tahun. Hingga semester I 2019, realisasi belanja tercatat Rp1.034,5 triliun atau 42,03 persen dari pagunya yakni Rp2.461,1 triliun.

Meski demikian, ia menilai belanja yang sebenarnya digelontorkan di awal tahun memiliki dampak baik ke perekonomian. Belanja tersebut antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), hingga percepatan pembayaran Peserta Bantuan Iuran (PBI) bagi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Di sisi lain, pemerintah harus mencari dan memangkas pos-pos pengeluaran yang tidak memiliki efek berlipat ke perekonomian.

"Kalau memang secara anggaran tidak efektif, ini harusnya segera dibenahi. Sementara itu, anggaran yang memang memberikan stimulus bagi ekonomi justru dipertahankan. Hanya saja, jangan terlalu boros sehingga menyebabkan excess spending," ujar dia.


Defisit Masih Aman

Meski berpotensi melebar, Fithra menilai defisit yang diproyeksi sebesar 1,93 persen dari PDB ini tak perlu dipermasalahkan. Apalagi, deviasinya tidak terlalu besar, yakni hanya 9 basis poin dibanding target awalnya yakni 1,84 persen.

Proyeksi defisit tersebut pun masih jauh di bawah batas aman yang ditetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 3 persen dari PDB. Namun, pelebaran defisit ini tentu menimbulkan konsekuensi, yakni penarikan utang yang lebih banyak.

Ia juga menekankan utang tetap bisa dilakukan asal terukur dengan matang. Jangan sampai, gempuran penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di semester ini menarik seluruh uang yang berada di pasar keuangan.

Ia khawatir perebutan dana antara pemerintah dan korporasi dalam menghimpun dana crowding out effect terulang kembali. Crowding out effect pernah terjadi pada semester I lalu ketika pemerintah menarik utang besar-besaran di awal tahun (front loading) sehingga mempengaruhi penghimpunan dana dan penyaluran kredit perbankan.

"Dan ketika ada crowding out effect, data selama tiga tahun memang menunjukkan bahwa kinerja ekspor manufaktur malah mandek. Dalam konteks ini, perusahaan pun beralih ke financing dana yang lebih mahal. Tentu, di dalam menerbitkan SBN, perlu ditata agar tak pengaruh ke pertumbuhan," jelasnya.


Hal senada juga diungkapkan Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual. Menurut dia, pemerintah sebenarnya punya ruang untuk melebarkan defisit lebih besar demi menggenjot belanja yang berdampak pada perekonomian.

Namun, ia mengingatkan defisit APBN dapat menjadi sentimen negatif bagi perekonomian jika langsung bertambah 50 basis poin.

"Kalau defisit memang tidak usah terlalu harus pakem 1,84 persen dari PDB. Tidak ada masalah jika melebar, apalagi hanya 10 basis poin. Justru kalau lebih lebar ini baik, artinya ada ekspansi fiskal. Fiskal yang ekspansif adalah cerminan bahwa pemerintah ingin menstimulasi ekonomi," jelas dia.

Dengan demikian, pemerintah sudah barang tentu akan menaikkan pembiayaan. Menurut dia, risiko bagi pemerintah untuk menarik pembiayaan di semester II 2019 lebih kondusif dibanding tahun lalu atau awal tahun ini.


Risiko tersebut, lanjut David, tak lepas dari rencana bank sentral AS The Fed yang berencana memangkas suku bunga acuannya. Jika itu terjadi, Bank Indonesia kemungkinan juga akan menurunkan suku bunganya juga.

Sesuai teori, suku bunga acuan yang melandai bisa menurunkan imbal hasil obligasi. Sehingga, biaya bunga pinjaman pemerintah juga bisa lebih murah.

"Tidak ada masalah dengan minat investor di obligasi. Kondisi eksternal membaik, bahkan ada pelonggaran dari kebijakan The Fed. Jadi sebenarnya tidak masalah jika memang defisitnya melebar," terang dia. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER