Berdasarkan informasi yang diterimanya dari manajemen PT Pos, perusahaan sebenarnya sudah menjajaki kerja sama dengan salah satu marketplace global Alibaba. Konsepnya, perusahaan ingin menjadikan seluruh kantor sebagai gudang penyimpanan (warehouse) Alibaba.
Selanjutnya, untuk menghadapi disrupsi, perusahaan juga perlu merombak sistem operasi yang lebih efisien memanfaatkan teknologi. Dalam jangka pendek, sambung dia, kebutuhan sumber daya manusia di bisnis pos mungkin berkurang, namun perusahaan bisa memindahkan ke bidang lain.
"Tanpa transformasi, mereka bisa digilas zaman," ucapnya.
Di sektor keuangan, tahun lalu, raupan pendapatan perusahaan dari lini bisnis ini merosot 7,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp896,68 triliun. Hal itu terjadi karena manajemen tak mampu bersaing dengan bank dan
fintech.
PT Pos memang sulit bersaing dengan perbankan dan fintech, terutama dari sisi biaya. Maklum, untuk memanfaatkan layanan pengiriman uang lewat PT Pos, konsumen harus merogoh kocek Rp15 ribu. Pengiriman dana pun memerlukan waktu.
Sementara, layanan transfer dana jasa perbankan hanya mematok biaya Rp6.500 per transaksi, bahkan gratis. Dana yang dikirim itu pun diterima secara
real time pada saat itu juga.
Melihat hal itu, Toto menilai perusahaan bisa serius menggarap perluasan akses keuangan di daerah terpencil dengan memanfaatkan keterbatasan jangkauan masyarakat ke layanan perbankan. Bila perlu, perluas bisnisnya dengan mendirikan bank seperti yang dilakukan oleh perusahaan pos di negara lain.
Pengembangan aplikasi pengiriman uang juga perlu dilakukan. Dengan demikian, bisnis remitansi perusahaan bisa bersaing di tengah gempuran perusahaan
fintech yang menjamur.
Di saat yang sama, Toto mengingatkan peran PT Pos sebagai perusahaan pelat merah yang tidak semata-mata mencari profit, tetapi juga memberikan pelayanan publik (PSO). Dengan peran tersebut, sulit menyamakan kinerja BUMN dengan pemain swasta.
"Memang dibutuhkan manajemen yang oke yang mampu mengelola BUMN sehingga mereka bisa bertahan, tumbuh, tetapi PSO juga berjalan," ujarnya.
 Ilustrasi kegiatan usaha PT Pos. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
Pemerintah telah memberikan mandat kepada PT Pos untuk memberikan layanan pos universal yang tarifnya diatur. Karena menjalankan penugasan tersebut, manajemen mengklaim merugi Rp600 miliar. Untuk menutup kerugiannya, menurut Toto, perusahaan perlu menjalankan subsidi silang dari pemasukan lini bisnis lain seperti logistik.
Pemerintah, sambung ia, juga perlu menjaga keberlangsungan bisnis PT Pos dengan cara memberikan fasilitas yang memungkinkan gerak PT Pos menjadi lebih dinamis.
Selain itu, menurut Toto, sinergi antar BUMN perlu dilakukan. Bahkan, bila perlu, pemerintah bisa membentuk
holding BUMN di bidang logistik agar skala bisnis perusahaan menjadi lebih besar. Selain PT Pos, salah satu perusahaan pelat merah yang bergerak di bisnis logistik adalah PT Bhanda Ghara Reksa (Persero).
"Dengan tidak bermain sendiri-sendiri, skalanya lebih besar. Kalau skalanya lebih besar, mestinya, daya saingnya juga lebih besar," jelasnya.
Bisnis logistik sendiri masih terbilang moncer bagi PT Pos. Tahun lalu, pendapatan bisnis logistik mekar 44,48 persen secara tahunan menjadi Rp510,94 miliar.
Kementerian BUMN, selaku pemegang saham mayoritas, sebenarnya mendukung upaya transformasi PT Pos. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menilai perseroan membutuhkan transformasi model bisnis dengan menekankan layanan kurir. Transformasi model bisnis juga perlu diterapkan pada entitas anak.
"Pertama kami membuat
road map (peta rancangan) transformasi. PT Pos itu yang penting mengubah bisnis modelnya. Selama ini surat, dia harus berubah jadi paket," katanya.
Bahkan, pemerintah tidak mempersoalkan jika perseroan membutuhkan suntikan modal dalam rangka transformasi bisnis. Meski demikian, ia belum bisa menaksir kebutuhan itu karena perseroan sendiri masih mengantongi laba meski menyusut.
"Mumpung masih laba, kami ubah (model bisnis). Kami kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara regulasi seperti apa, korporasi seperti apa," jelasnya.
Belajar dari 'Tetangga'
Upaya transformasi sudah lebih dulu dilakukan oleh perusahaan jasa kurir swasta. Persaingan yang semakin ketat menuntut perusahaan untuk lincah dalam menyesuaikan diri.
[Gambas:Video CNN]"Saat
e-commerce tumbuh seharusnya bisnis jasa kurir tumbuh karena, pada akhirnya semua barang yang dipesan online harus dikirimkan via jasa kurir," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, POS dan Logistik Indonesia (Asperindo) M Feriadi.
Untuk meningkatkan pelayanan, lanjut ia, banyak perusahaan jasa kurir anggotanya yang melakukan pembenahan dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang. Misalnya, mengembangkan aplikasi pelacakan pengiriman surat atau barang sehingga konsumen dapat dengan mudah melacak pengiriman melalui telepon pintar.
"Perbaikan situs juga dilakukan, sehingga interaksi dengan pelanggan menjadi lebih mudah," kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) ini.
Sistem pembayaran juga disesuaikan. Perusahaan jasa kurir kini sudah banyak yang menerima pembayaran non tunai.
Banyaknya jaringan yang tersebar hingga ke pelosok juga dimanfaatkan perusahaan jasa kurir untuk mendiversifikasi layanannya. Salah satunya, bisnis remitansi.
Untuk itu JNE bekerja sama dengan perusahaan remitansi global Western Union. Peluang bisnis remitansi, menurut Feriadi, masih besar terlebih banyak pekerja Indonesia yang mencari penghidupan sebagai pekerja migran. Selain itu, jumlah orang yang belum memiliki rekening perbankan juga masih banyak.
"TKI-TKI yang bekerja di luar negeri, pedagang yang tidak bisa memanfaatkan layanan transfer melalui bank pasti menggunakan remitansi," paparnya.
Dengan jam operasional dan lokasi agen perusahaan yang lebih fleksibel dibandingkan pesaing, perusahaan menawarkan kenyamanan tersendiri bagi konsumen.